Review: Wonder Woman (2017)


Cukup mengherankan untuk melihat baik DC Films maupun Marvel Studios (atau rumah produksi Hollywood lainnya) membutuhkan waktu yang cukup lama untuk akhirnya menggarap sebuah film pahlawan super dengan sosok karakter wanita berada di barisan terdepan. Terlebih, film-film bertema pahlawan super tersebut saat ini sedang begitu digemari oleh banyak penikmat film sehingga mampu mendatangkan jutaan penonton – khususnya para penonton wanita. Marvel Studios sebenarnya memiliki kesempatan tersebut ketika mereka memperkenalkan karakter Black Widow yang diperankan Scarlett Johansson pada Iron Man 2 (Jon Favreau, 2010) dan The Avengers (Joss Whedon, 2012) yang akhirnya kemudian begitu mencuri perhatian. Entah karena masih kurang percaya diri atau merasa karakter Black Widow belum terlalu menjual, ide pembuatan film solo untuk Black Widow akhirnya terkubur dalam hingga saat ini. Johansson sendiri kemudian mampu membuktikan nilai jualnya ketika ia membintangi Lucy (Luc Besson, 2014), Under the Skin (Jonathan Glazer, 2014), dan Ghost in the Shell (Rupert Sanders, 2017) yang menempatkannya sebagai semacam sosok pahlawan super wanita sekaligus berhasil meraih kesuksesan secara komersial ketika masa perilisannya.

WellMarvel Studios had their chances and ruined it. Pada tahun 2010, studio pesaingnya, DC Films – yang film-film pahlawan supernya selama ini seringkali menjadi bulan-bulanan para kritikus film dunia selepas trilogi The Dark Knight (2005 – 2012) arahan Christopher Nolan – mengumumkan bahwa mereka akan memproduksi adaptasi film layar lebar dari Wonder Woman. Setelah mengumumkan bahwa Patty Jenkins (Monster, 2003) akan duduk di kursi penyutradaraan dan Gal Gadot (Fast and Furious 6, 2013) akan berperan sebagai karakter ikonik Diana Prince/Wonder Woman, DC Films kemudian secara resmi memulai proses produksi film di tahun 2015. Reputasi film-film pahlawan super milik DC Films sempat membayangi sekaligus memberikan keraguan pada Wonder Woman. Namun, dengan naskah cerita yang solid dari Allan Heinberg, penampilan yang begitu mengikat dari Gadot sekaligus arahan yang sangat kuat dari Jenkins, Wonder Woman mampu menentang segala ekspektasi terhadapnya. Tidak hanya menjadi film terbaik DC Films semenjak The Dark Knight (Nolan, 2008), Wonder Woman adalah salah satu film pahlawan super terbaik yang pernah dirilis Hollywood hingga saat ini.

Dibuka dengan cuplikan adegan yang sempat muncul dalam Batman v Superman: Dawn of Justice (Zack Snyder, 2016) – dimana DC Films menghadirkan karakter Diana Prince/Wonder Woman untuk pertama kali, Jenkins memulai Wonder Woman dengan mengajak penonton berkenalan dengan asal usul sang wanita ajaib tersebut. Merupakan puteri dari penguasa kepulauan Themyscira yang merupakan tempat tinggal bagi kaum Amazon, Queen Hippolyta (Connie Nielsen), perkenalan Diana (Gadot) dengan seorang kapten Angkatan Darat Amerika Serikat, Steve Trevor (Chris Pine), kemudian membawanya bertualang jauh dari tanah kelahirannya. Dari informasi yang diberikan Steve Trevor, Diana mengetahui bahwa dunia sedang menghadapi perang besar yang telah merenggut jutaan nyawa manusia. Merasa bahwa peperangan tersebut disebabkan oleh Ares sang Dewa Perang, dan sebagai kaum Amazon yang bertugas untuk menundukkan Ares, Diana lantas bergabung dengan Steve Trevor dan pasukannya demi menghentikan peperangan.

Penampilan Gadot merupakan kunci mengapa karakter Diana Prince/Wonder Woman tampil begitu memikat. Seperti halnya Hugh Jackman yang memerankan James Howlett/Logan/Wolverine atau Robert Downey, Jr. yang memerankan Tony Stark/Iron Man atau Chris Evans yang memerankan Steve Rogers/Captain America, Gadot jelas terlahir untuk memerankan Diana Prince/Wonder Woman. Tidak seperti Black Widow yang tampil seduktif, Diana Prince/Wonder Woman adalah sosok pahlawan super dengan kepribadian yang terasa begitu lugu – mungkin dapat dideskripsikan sebagai versi wanita dari Steve Rogers/Captain America. Gadot mampu merepresentasikan gambaran tersebut dengan kuat. Meskipun dengan penampilan fisik yang sempurna – dan sentuhan lip gloss yang setiap melapisi bibirnya, kharisma Gadot mampu menjadikan karakter yang ia perankan terasa masih begitu membumi, hangat, dan mudah didekati siapa saja. Deskripsi penampilan yang jelas membuat baik Gadot maupun Diana Prince/Wonder Woman akan sangat mudah untuk disukai atau dicintai atau bahkan diidolai oleh siapa saja.

Tentu saja, penampilan Gadot juga merupakan hasil dari pengarahan yang sangat mengagumkan dari Jenkins. Merupakan film kedua Jenkins setelah Monster yang berhasil memenangkan Charlize Theron sebuah Academy Award, Wonder Woman hadir dengan kekuatan penceritaan dan teknikal layaknya film-film bertema sama arahan para sutradara pria namun dengan sentuhan sensitivitas seorang wanita. Kelebihan tersebut begitu terasa pada kemampuan Jenkins untuk menonjolkan kepribadian setiap karakter yang hadir dalam jalan cerita dan membuat kehadiran mereka terasa begitu esensial, bahkan bagi karakter-karakter dengan jalinan kisah yang minimalis. Hal ini yang membuat pertarungan akhir yang dihadapi Diana Prince/Wonder Woman terasa lebih sebagai sebuah pertarungan ideologis antara dua karakter daripada sebagai sebuah pertarungan untuk menggelorakan penggunaan tata efek visual yang melelahkan seperti yang terjadi dalam adegan pertarungan final pada Batman v Superman: Dawn of Justice.

Perjalanan pengisahan Wonder Woman sendiri bukannya hadir tanpa permasalahan. Dengan karakter Diana Prince/Wonder Woman yang begitu mempesona, karakter-karakter antagonis dalam film ini seringkali terasa kurang begitu memorable. Begitu pula dengan karakter-karakter pendukung yang hadir di sekitaran Diana Prince/Wonder Woman maupun Steve Trevor. Paruh kedua dan ketiga pengisahan film juga memiliki beberapa masalah. Setelah deretan pengenalan karakter dan konflik pada paruh pertama, paruh kedua terasa sedikit hambar dalam pengelolaan ceritanya – meskipun mampu menggali kedalaman hubungan karakter Diana Prince/Wonder Woman dengan Steve Rogers dengan baik. Paruh ketiga yang berisi penyelesaian deretan konflik yang telah dikembangkan pada paruh-paruh pengisahan sebelumnya juga sempat terasa goyah pada beberapa bagian. Meskipun begitu, kelemahan-kelemahan minor tersebut untungnya tidak akan mengurangi kualitas pengisahan Wonder Woman secara keseluruhan yang mampu diproduksi dengan apik.

Berbicara mengenai departemen akting, penampilan Pine sebagai Steve Trevor mampu mendampingi penampilan Gadot dengan baik. Chemistry­-nya yang sangat hangat dengan Gadot membuat hubungan mereka terlihat begitu manis. Chemistry itu pula yang kemudian berhasil menyumbangkan beberapa momen emosional dalam presentasi cerita Wonder Woman. Selain Pine, penampilan-penampilan pendukung dalam film ini hadir dalam kualitas yang solid. Mulai penampilan dari Nielsen dan Robin Wright sebagai dua sosok wanita terdekat bagi karakter Diana Prince/Wonder Woman, David Thewlis, David Huston, Elena Anaya hingga Lucy Davis yang kerap kali berhasil mencuri perhatian. Kualitas penampilan departemen akting yang unggul tersebut yang kemudian berhasil semakin membuat Wonder Woman hadir begitu istimewa. Sebuah pencapaian yang jelas memberikan standar baru (yang cukup tinggi) bagi film-film pahlawan super wanita di masa yang akan datang. An instant classic! [B]

wonder-woman-gal-gadot-movie-posterWonder Woman (2017)

Directed by Patty Jenkins Produced by Charles Roven, Deborah Snyder, Zack Snyder, Richard Suckle Written by Allan Heinberg (screenplay), Zack Snyder, Allan Heinberg, Jason Fuchs (story), William Moulton Marston (comics, Wonder Woman) Starring Gal Gadot, Chris Pine, Robin Wright, Connie Nielsen, David Thewlis, Danny Huston, Elena Anaya, Lucy Davis, Saïd Taghmaoui, Ewen Bremner, Eugene Brave Rock, Lisa Loven Kongsli, Mayling Ng, Florence Kasumba, Madeleine Vall Beijner, Ann Wolfe, Doutzen Kroes, Samantha Jo, Lilly Aspell, Emily Carey Music by Rupert Gregson-Williams Cinematography Matthew Jensen Editing by Martin Walsh Studio DC Films/Atlas Entertainment/Cruel and Unusual Films/Tencent Pictures/Wanda Pictures Running time 141 minutes Country United States Language English

6 thoughts on “Review: Wonder Woman (2017)”

    1. Haha. Terima kasih sudah selalu berkunjung dan membaca blog saya, Mas. Really appreciate it.

  1. Review bagus mas Amir….
    mungkin yg mas bahas soal Marvel belum bikin film solo superhero woman… mgkn karena image dalam komik kebanyakan karakter wanitanya selalu jadi karakter pendamping… ga kayak wonder woman kali ya, pamor nya memang jelas lebih punya reputasi jadi karakter solo… karena latar belakang dan juga pengaruhnya yg besar di cerita…

    ga usah jauh2 scarlett witch punya modal kekuatan yg lebih hebat, manalagi yg meranin ,, kali buat saya udah IMBA kayak Doctor Strange…. tp, sampai sekarang kayaknya belum punya niat kessana… entah mungkin setelah WOnder Woman berhasil,,, bisa memicu kompetitor nya marvel buat nyaingin superhero DC dgn superhero marvel…. liat aja nanti

    btw,,, boleh tukeran link review nih, blog saya.. http://www.lemonvie.net/

Leave a Reply