Review: Jelita Sejuba (2018)


Jika biasanya film-film yang berlatar kehidupan para tentara mengambil sudut pandang dari karakter para tentaranya itu sendiri – lihat saja Merah Putih II: Darah Garuda (Yadi Sugandi, Conor Allyn, 2010), Doea Tanda Cinta (Rick Soerafani, 2015), atau Dunkirk (Christopher Nolan, 2017), maka Jelita Sejuba mencoba berkisah mengenai kehidupan sang istri dari tentara dalam mendampingi sosok yang harus membagi perhatiannya antara keluarga dengan negara. Dengan naskah cerita yang ditulis oleh Jujur Prananto – yang juga bertanggungjawab untuk naskah cerita Doea Tanda Cinta, Jelita Sejuba tampil cukup manis dalam penggambaran hubungan romansa antara kedua karakter utamanya meskipun sering terasa kehilangan keseimbangan pengisahan, khususnya pada paruh akhir penceritaan. Penampilan prima dari Putri Marino juga memberikan kontribusi besar bagi kualitas presentasi keseluruhan film yang menjadi debut pengarahan film panjang bagi Ray Nayoan ini.

Berlatarbelakang keindahan alam Kepulauan Natuna, Provinsi Kepulauan Riau, Jelita Sejuba memulai pengisahannya dengan pertemuan antara Syarifah (Marino) dengan seorang anggota pasukan Tentara Nasional Indonesia asal Bandung yang sedang ditugaskan di kepulauan tersebut, Jaka (Wafda Saifan Lubis). Walau perkenalan keduanya berlangsung singkat, dan tanpa disertai masa berpacaran yang terlalu lama, Syarifah dan Jaka akhirnya sepakat untuk membawa hubungan mereka ke jenjang pernikahan. Layaknya hubungan pernikahan lainnya, hubungan pernikahan antara Syarifah dan Jaka juga menemui beberapa tantangan. Sebagai istri dari seorang tentara, Syarifah kini harus bersiap untuk ditinggalkan sang suami yang dapat ditugaskan kemana dan kapan saja oleh negara. Tantangan berumahtangga tersebut bahkan semakin besar ketika keduanya memiliki anak. Ketiadaan Jaka tentu saja memberikan kerepotan tersendiri bagi Syarifah dalam menjaga sekaligus membesarkan buah hatinya.

Benar, Jelita Sejuba memang tidak menawarkan sesuatu yang baru dalam jalinan penceritaannya. Naskah cerita garapan Prananto hanya menggulirkan cerita pertemuan antara seorang wanita dengan seorang pria yang kemudian tumbuh menjadi sebuah hubungan romansa – dengan tambahan latar belakang kehidupan militer, tentu saja. Nyaris tidak ada konflik yang benar-benar kuat maupun terasa istimewa. Meskipun begitu, dedikasi pengarahan cerita dari Nayoan membuat Jelita Sejuba begitu nyaman untuk diikuti pengisahannya. Nayoan berhasil menuturkan perkembangan hubungan antara kedua karakter utama dengan seksama, berkembang secara perlahan namun pasti sehingga mampu terasa manis dan meyakinkan. Jalinan hubungan antara karakter Syarifah dengan karakter-karakter di sekitarnya juga berhasil disajikan dengan baik. Perhatian Nayoan pada detil produksi juga layak untuk diapresiasi. Meskipun beberapa potongan gambar tentang kegiatan para tentara yang hadir dalam kualitas gambar yang rendah tampil cukup mengganggu namun kemampuan Nayoan untuk mengisi filmnya dengan warna tradisi Melayu yang kental hingga keindahan alam Kepulauan Natuna mampu membuat Jelita Sejuba tampil menarik terlepas dari kesederhanaan penyajian kisahnya.

Guncangan pada pengisahan Jelita Sejuba mulai dirasakan pada bagian akhir paruh kedua hingga film ini kemudian berakhir. Hilangnya karakter Jaka yang awalnya begitu mendominasi sedikit memberikan pengaruh pada warna penceritaan film. Minimalisnya konflik yang tersaji semenjak awal pengisahan juga membuat paruh akhir Jelita Sejuba terasa kehabisan amunisi dan berakhir hampa. Pilihan untuk menghadirkan sebuah konflik yang berakhir fatal serta kehadiran secara tiba-tiba seorang karakter yang telah lama menghilang justru semakin memperlihatkan bangunan cerita yang cukup rapuh. Beberapa gangguan tersebut memang tidak memberikan pengaruh negatif yang besar. Namun, sayangnya, tetap menghadirkan kejanggalan-kejanggalan dalam presentasi cerita keseluruhan film.

Nayoan sendiri cukup beruntung mendapatkan Marino untuk memerankan karakter Syarifah yang memang menjadi karakter sentral sekaligus nyawa bagi pengisahan Jelita Sejuba. Marino berhasil memberikan kepribadian sekaligus kharisma yang begitu menarik dan menyenangkan bagi karakter Syarifah yang membuat karakter tersebut menjadi begitu mudah untuk disukai. Meskipun begitu, penampilan Marino yang kuat dan dominan tidak lantas membuat penampilan Lubis terasa tenggelam. Kedua aktor tersebut mampu hadir dalam jalinan hubungan yang sangat meyakinkan. Selain Marino dan Lubis, departemen akting Jelita Sejuba juga diperkuat dengan penampilan dari Yayu Unru – yang sebelumnya juga mendampingi Marino dalam Posesif (Edwin, 2017), Aldy Maldini, dan Nena Rosier yang hadir dalam kualitas penampilan yang solid. [C]

jelita-sejuba-putri-marino-wafda-saifan-lubis-movie-posterJelita Sejuba (2018)

Directed by Ray Nayoan Produced by Marlian Nurdiyani, Roy Putra Written by Jujur Prananto (screenplay), Krisnawati (storyStarring Putri Marino, Wafda Saifan Lubis, Aldy Maldini, Yayu Unru, Nena Rosier, Abigail, Mutiara Sofya, Yukio, Harlan Kasman, Donny Alamsyah, Ramadhan Alrasyid, Stefanus Ciproet Music by Ricky Surya Virgana Cinematography Yoyok Budi Santoso Editing by Andhy Pulung Studio Drelin Amagra Pictures Running time 105 minutes Country Indonesia Language Indonesian

One thought on “Review: Jelita Sejuba (2018)”

Leave a Reply