Review: Headshot (2016)


Enam tahun setelah merilis Rumah Dara, duo sutradara Timo Tjahjanto dan Kimo Stamboel yang lebih dikenal sebagai Mo Brothers kembali hadir dengan film arahan terbaru mereka, Headshot. Berbeda dengan Rumah Dara yang berhasil meraih sejumlah penggemar fanatik dari kalangan pecinta horor sekaligus menjadikan karakter utamanya, Dara, menjadi salah satu karakter ikonik dari film horor Indonesia, Headshot adalah sebuah film aksi yang lebih bercermin pada Killers (2014) yang menjadi debut penyutradaraan layar lebar perdana bagi karir solo Tjahjanto. Sayangnya, serupa dengan Rumah Dara maupun Killers, Headshot masih menampilkan Mo Brothers dengan permasalahan yang sama: pengembangan konflik dan karakter yang seringkali terasa (terlalu) minimalis dan kurang meyakinkan.

Headshot sendiri berkisah tentang seorang dokter magang, Ailin (Chelsea Islan), yang sedang merawat seorang pria tanpa identitas (Iko Uwais) yang ditemukan warga di pinggiran pantai daerah tempat dirinya bekerja. Beberapa bulan setelah tidak sadarkan diri, pria tersebut akhirnya siuman namun berada dalam kondisi menderita amnesia. Hubungan Ailin dengan Ishmael – begitu Ailin menamakan sang pria tanpa identitas demi mempermudah komunikasi mereka – secara perlahan mulai terasa lebih dari sekedar hubungan antara dokter dengan pasiennya. Namun, di saat yang bersamaan, sosok-sosok misterius mulai hadir dalam kehidupan Ailin dan Ishmael. Sosok-sosok misterius yang secara tidak terduga mulai membuka tabir siapa diri Ishmael yang sesungguhnya.

Now, Headshot isn’t a bad movie. Bagi mereka yang menggemari film-film bernuansa sejenis – film aksi dengan banyak adegan pertarungan berdarah nan brutal, Mo Brothers berhasil membungkus Headshot dengan rangkaian koreografi aksi yang dijamin akan mampu membuat penontonnya menahan nafas dan berpegangan erat pada kursi mereka. Kualitas teknis film juga berada dalam kelas yang sama sekali jauh dari kesan mengecewakan. Mulai dari departemen artistik, tata rias dan kostum, tata musik dan suara hingga tata kamera dan penyuntingan mampu tergarap dengan baik untuk memastikan Headshot berhasil menghantarkan ketegangan dalam menit-menit krusialnya. Namun, tentu saja, Headshot tidak melulu tersusun atas deretan aksi baku hantam belaka. Pada bagian inilah Headshot berada pada bagian terlemahnya.

Headshot dan film-film sepantarannya mungkin bukanlah jenis film yang terlalu bertumpu pada penggalian kisah dan karakter secara mendalam. Meskipun begitu, ketika dua komponen penceritaan tersebut tersaji lemah, jelas akan cukup sulit untuk benar-benar merasa terikat dengan presentasi film secara keseluruhan. Awal penceritaan Headshot sendiri sebenarnya telah berjalan dengan cukup baik. Karakter-karakter utamanya diperkenalkan dengan seksama dalam penceritaan yang tersaji dalam ritme yang berjalan cepat. Seiring dengan berjalannya durasi film, dengan penambahan beberapa konflik dan karakter minor, Headshot mulai terasa kehilangan pegangannya. Ketika film ini tidak menyajikan adegan aksinya, intensitas penceritaan Headshot benar-benar terasa datar. Drama yang disajikan tidak pernah mampu memberikan sentuhan emosional. Pengarahan Mo Brothers juga acapkali terasa goyah. Puncaknya, paruh ketiga film tampil mati rasa. Adegan baku hantam final yang harusnya menjadi puncak kepuasan film hadir tanpa kesan akibat terlalu seringnya penceritaan Headshot disumpali dengan adegan-adegan laga. Headshot akhirnya berakhir sebagai sebuah film yang sebenarnya tidak pernah hadir menjemukan namun sama sekali gagal untuk benar-benar memberikan kesan mendalam.

Jajaran pengisi departemen akting Headshot sebenarnya telah memberikan penampilan yang cukup memuaskan. Uwais bahkan harus diakui tampil dengan kualitas akting yang lebih relaks dan meyakinkan dari ada yang pernah ia tampilkan dalam film-film yang ia bintangi sebelumnya. Namun, dengan karakterisasi yang terasa tidak terlalu berbeda dengan apa yang mereka perankan dalam The Raid 2: Berandal (Gareth Evans, 2014), jelas sulit untuk memberikan apresiasi lebih pada penampilan Uwais, Julie Estelle maupun Very Tri Yulisman. Penampilan-penampilan bagus namun tidak lagi terasa istimewa. Chemistry Uwais dengan Islan juga seringkali terasa hambar. Tidak manis maupun meyakinkan selayaknya sebuah jalinan romansa yang dapat membuat penonton terkoneksi dan mendukung penuh hubungan tersebut. Penampilan Sunny Pang mungkin adalah penampilan yang paling mencuri perhatian. Sebagai sesosok karakter yang tergambar sebagai sosok maniak, Pang tampil meyakinkan dan akan mengingatkan banyak penonton pada karakter-karakter “eksentrik” yang diperankan Choi Min-sik dari film-film seperti Oldboy (Park Chan-wook, 2003) atau I Saw the Devil (Kim Jee-won, 2010). And that’s quite a compliment, of course. [C]

headshot-movie-posterHeadshot (2016)

Directed by Mo Brothers Produced by Shinjiro Nishimura, Wicky V. Olindo, Mike Wiluan Written by Timo Tjahjanto Starring  Iko Uwais, Chelsea Islan, Julie Estelle, Sunny Pang, David Hendrawan, Epy Kusnandar, Very Tri Yulisman, Zack Lee Music by Aria Prayogi, Fajar Yuskemal Cinematography Yunus Pasolang Edited by Arifin Cuunk Production company Screenplay Infinite Films Running time 115 minutes Country Indonesia Language Indonesian, English

3 thoughts on “Review: Headshot (2016)”

Leave a Reply