Review: World War Z (2013)


world-war-z-header

Proses untuk membawa World War Z, yang merupakan hasil adaptasi dari novel karya Max Brooks yang berjudul World War Z: An Oral History of the Zombie War, dimulai pada tahun 2007 ketika rumah produksi milik Brad Pitt, Plan B Entertainment, membeli hak adaptasi novel tersebut. Digambarkan sebagai sebuah film thriller dengan muatan drama sosial politis yang cenderung padat, berbagai masalah mulai menghampiri proses produksi World War Z, mulai dari naskah cerita yang mengalami penulisan ulang beberapa kali, konflik yang terjadi antara Brad Pitt dengan sutradara film ini, Marc Forster (Machine Gun Preacher, 2011), hingga ketidakpuasan atas hasil akhir yang membuat World War Z harus melalui proses pengambilan gambar ulang untuk beberapa adegan yang berujung pada pengunduran masa tayang film ini yang awalnya dijadwalkan pada akhir 2012 menjadi pertengahan tahun 2013. Messy.

Meskipun begitu, apapun permasalahan yang dilalui oleh World War Z selama proses produksinya, jelas seharusnya tidak memberikan pengaruh pada kualitas akhir yang ditampilkan oleh film ini. Well… dengan dukungan penampilan Brad Pitt serta kualitas tata produksi yang cukup kuat, World War Z mampu menghadirkan menit-menit yang cukup menegangkan kepada para penontonnya. Terlepas dari keberhasilan tersebut, tidak dapat disangkal, pada banyak bagian penceritaannya, World War Z terasa hadir layaknya sebuah permainan video dengan potongan-potongan kisah perjalanan seorang karakter yang kemudian berusaha untuk disatukan… namun sayangnya sama sekali tidak pernah benar-benar mampu untuk tampil meyakinkan karena alur cerita yang tampil terlalu monoton serta deretan karakter yang hadir dengan penggalian yang begitu datar sekaligus lemah untuk membuat penonton benar-benar merasa peduli dengan keberadaan mereka di dalam jalan cerita.

Dengan naskah cerita yang ditulis oleh Matthew Michael Carnahan, Drew Goddard dan Damon Lindelof, World War Z berkisah mengenai seorang mantan pegawai Persatuan Bangsa-Bangsa, Gerry Lane (Brad Pitt), yang harus merelakan dirinya berpisah dari istri, Karin (Mireille Enos), dan kedua puterinya, Rachel (Abigail Hargrove) dan Constance (Sterling Jerins), ketika ia dipanggil lagi oleh organisasi tersebut untuk membantu mereka dalam menangani sebuah pandemi virus yang secara cepat menyebar dan mengubah populasi manusia menjadi sekumpulan mayat hidup. Berpacu dengan waktu, Gerry memulai perjalanannya mengelilingi dunia untuk mengumpulkan berbagai petunjuk mengenai awal keberadaan virus sebelum virus tersebut akhirnya tidak dapat dikalahkan dan turut merenggut nyawa seluruh umat manusia yang ada di muka Bumi.

World War Z sebenarnya dimulai dengan penceritaan yang sangat kuat. Dibuka dengan penuh kehangatan melalui gambaran harmonisnya sebuah tatanan keluarga yang dibentuk oleh karakter Gerry dan istrinya, World War Z kemudian secara cepat berubah menjadi serangkaian mimpi buruk ketika sekumpulan manusia yang telah terinfeksi virus dan berubah menjadi mayat hidup mulai mengisi alur cerita. Dengan dukungan tata sinematografi arahan Ben Seresin dan tata musik karya Marco Beltrami – yang sepertinya mengadaptasi suara familiar yang biasa dihasilkan Hans Zimmer – dengan bantuan komposisi musik dari band asal Inggris, Muse, Marc Forster berhasil menyusun adegan pembukaan World War Z tampil begitu menegangkan meskipun sama sekali tidak pernah berusaha mengeksploitasi kehadiran darah dan potongan anggota tubuh manusia dalam adegan-adegannya.

Alur penceritaan World War Z terasa stagnan dan berjalan monoton ketika karakter Gerry Lane dikisahkan memulai perjalanan keliling dunianya dalam mengumpulkan berbagai bukti mengenai awal keberadaan virus pembunuh tersebut. Dimulai dari Korea Selatan, Israel hingga Wales, perjalanan karakter Gerry dihadirkan dengan pola yang sama: menjumpai beberapa karakter yang dianggap dapat membantu penyelidikannya sebelum akhirnya pergi terburu-buru dari tempat tersebut ketika kawanan mayat hidup kembali menyerangnya. Tidak sepenuhnya buruk. Namun perpindahan dari satu lokasi cerita ke cerita lainnya terasa seperti pengulangan bagian cerita tanpa pernah mampu menghadirkannya dengan penggalian yang kuat serta karakter-karakter yang dapat membuat petualangan tersebut menjadi lebih dramatis. Kehadiran ending penceritaan yang terasa berakhir begitu saja juga semakin membuat naskah cerita World War Z terasa gagal untuk mengembangkan potensi yang sebenarnya mampu membuat film ini berada di kelas yang berbeda jika dibandingkan dengan film-film sejenis.

Kelemahan World War Z lainnya terletak pada dangkalnya fungsi kebanyakan karakter yang hadir dalam presentasi cerita film ini. Untuk sebuah jalan penceritaan yang berusaha untuk menghadirkan tragedi serbuan mayat hidup sebagai sebuah realita, World War Z terasa terlalu mengagungkan karakter utamanya, Gerry Lane, dan menjadikannya sebagai satu karakter pahlawan super yang sama sekali tidak memiliki kelemahan. Untuk alasan yang sama pula, karakter-karakter pendukung yang berada di sekitar karakter utama sama sekali tidak pernah diberikan porsi penceritaan yang memadai atau bahkan terasa berguna kehadirannya di dalam jalan cerita – tidak karakter-karakter rekan kerjanya, orang-orang yang ia temui dalam perjalanan dan bahkan karakter-karakter keluarga yang digambarkan begitu ia perhatian mampu diberikan koneksi penceritaan yang kuat. Hal ini yang membuat banyak penampilan dari para pengisi departemen akting World War Z yang sebenarnya begitu berkualitas tetap gagal untuk membuat penonton merasa benar-benar peduli dengan keberadaan mereka. Penonton hanya disuguhkan deretan adegan menegangkan tentang usaha karakter Gerry Lane menghindari serbuan kumpulan mayat hidup tanpa pernah benar-benar merasa terhubung secara emosional dengan dirinya.

World War Z jelas jauh dari kesan buruk. Keberadaan nama-nama Matthew Michael Carnahan, Drew Goddard dan Damon Lindelof dibelakang penulisan naskah World War Z jelas telah memberikan pengaruh kuat pada tingkat kecerdasan film – yang membuatnya terasa bagaikan paduan Contagion (2012) dan versi global dari penceritaan 28 Days Later… (2002). Arahan Marc Forster juga mampu menjadikan film ini tampil cukup berbeda dari kebanyakan film-film sejenis, baik dari segi tampilan visual maupun pendekatan ceritanya. Walaupun begitu, dari perkembangan kecerdasan yang berada di garisan penceritaan, World War Z justru seperti melupakan kehadiran sisi emosional yang membuat film ini terasa menegangkan pada banyak adegannya namun sama sekali tidak pernah mampu membuat penontonnya terlibat secara emosional kepada jalan cerita yang sedang mereka ikuti.  Masih layak untuk disaksikan walau jelas terasa kurang mendapatkan pendalaman kisah yang lebih kuat.

popcornpopcornpopcornpopcorn2popcorn2

World War Z (Plan B Entertainment/Apparatus Productions GK Films/Hemisphere Media Capital/Latina Pictures/Paramount Pictures/Skydance Productions, 2013)
World War Z (Plan B Entertainment/Apparatus Productions/GK Films/Hemisphere Media Capital/Latina Pictures/Paramount Pictures/Skydance Productions, 2013)

World War Z (2013)

Directed by Marc Forster Produced by Ian Bryce, Dede Gardner, Jeremy Kleiner, Brad Pitt Written by Matthew Michael Carnahan, Drew Goddard, Damon Lindelof (screenplay), Matthew Michael Carnahan, J. Michael Straczynski (story) Max Brooks (novel, World War Z: An Oral History of the Zombie WarStarring Brad Pitt, Mireille Enos, Fana Mokoena, Daniella Kertesz, James Badge Dale, David Morse, Ludi Boeken, Abigail Hargrove, Sterling Jerins, Fabrizio Zacharee Guidoas, Matthew Fox, Peter Capaldi, Pierfrancesco Favino, Ruth Negga, Moritz Bleibtreu, Ernesto Cantu, David Andrews, Elyes Gabel, Lucy Aharish, Julia Levy-Boeken Music by Marco Beltrami Cinematography Ben Seresin Editing by Roger Barton, Matt Chesse Studio Plan B Entertainment/Apparatus Productions/GK Films/Hemisphere Media Capital/Latina Pictures/Paramount Pictures/Skydance Productions Running time 116 minutes Country United States Language English

8 thoughts on “Review: World War Z (2013)”

  1. “…World War Z terasa terlalu mengagungkan karakter utamanya, Gerry Lane, dan menjadikannya sebagai satu karakter pahlawan super yang sama sekali tidak memiliki kelemahan…”
    Gak heran… ini kan emang film-nya Brad Pitt punya. Jelas dia ingin tampil menonjol, dan tdk mau karakter yg dia perankan tenggelam oleh karakter yang lain.

    Mungkin dia harus belajar jadi sutradara pada Ben Affleck yang mampu membuat Argo meraih banyak penghargaan, ato setidaknya pada istrinya Jolie (jadi sutradara di film In the Land of Blood and Honey).

  2. Well, memang sih terasa banget kekurangannya. Apalagi terasa banget Brad Pitt – centric-nya.
    Tapi, zombie di film ini memang the craziest zombie pack yang pernah saya lihat di sebuah film, sih. Mereka bisa lompat, manjat dan bahkan lari… bukan lagi brainless monster that walk really slow.

Leave a Reply