A Year in Review: 20 Best Movies of 2013


a-year-in-review-2013Alright… alright… alright! Sudah waktunya untuk mengakhiri presentasi laporan tahunan A Year in Review… tentunya dengan daftar film-film yang berhasil memberikan kesan paling mendalam pada tahun 2013. Banyak hal yang terjadi di sepanjang tahun lalu. Film arahan Ben Affleck, Argo (2012), berhasil memenangkan tiga penghargaan di ajang The 85th Annual Academy Awards, termasuk Best Picture. Rehat sejenak dari profesinya sebagai seorang sutradara, Affleck kemudian membintangi Runner Runner (2013) bersama Justin Timberlake. Wellthat’s that. Sebuah presentasi yang cukup lemah meskipun Affleck tampil cukup meyakinkan. Steve McQueen dan Michael Fassbender kembali bekerjasama untuk ketiga kalinya lewat 12 Years a Slave (2013) yang berhasil meraih banyak perbincangan di berbagai ajang penghargaan film dunia. Tom Hanks kembali ke dunia akting! Tidak hanya melalui satu film – Captain Phillips (2013), dimana ia tampil fenomenal – namun juga mendukung Emma Thompson lewat film Saving Mr. Banks (2013).

What else? Hmmm… Sandra Bullock kembali membuktikan kemampuan aktingnya yang begitu mengikat lewat Gravity (2013) – yang juga berhasil memberikan salah satu pengalaman menonton paling menegangkan di layar bioskop pada tahun lalu. Julia Roberts berhadapan dengan Meryl Streep dalam film August: Osage County (2013). Oh. Benedict Cumberbatch juga tampil di film tersebut – dan juga 12 Years a Slave, The Hobbit: The Desolation of Smaug (2013), The Fifth Estate (2013) dan Star Trek Into Darkness (2013). Hope you’re not getting tired to see his face already. And then there’s James Wan… tampil begitu menyenangkan lewat The Conjuring (2013) namun sangat, sangat mengecewakan lewat Insidious: Chapter 2 (2013). Last but not leastIron Man 3 (2013) berhasil menjadi film dengan perolehan kesuksesan komersial terbesar di sepanjang tahun lalu – meskipun, hingga tulisan ini dibuat, The Hunger Games: Catching Fire (2013) mulai mampu melampauinya.

Beberapa bagian rangkuman diatas memberikan beberapa film yang dapat Anda harapkan berada di daftar sepuluh film terbaik di sepanjang tahun 2012 pilihan At the Movies. Namun… berikut daftar lengkapnya.

the-past-poster01. The Past (Le Passé) (Director: Asghar Farhadi | Memento Films, 2013)

Setelah sukses dengan A Separation (2011) – yang berhasil memenangkan begitu banyak penghargaan film, termasuk memenangkan kategori Best Foreign Language Film di ajang The 84th Annual Academy Awards, sutradara asal Iran kembali hadir dengan The Past. Berbeda dengan film-film yang ia arahkan sebelumnya, The Past adalah sebuah film yang berlatar belakang lokasi di luar negara Iran dengan jajaran pengisi departemen akting yang juga diisi dengan aktor dan aktris bertaraf internasional. Namun, sama halnya dengan A Separation, Farhadi menghadirkan sebuah jalinan kisah romansa dengan lapisan konflik yang begitu emosional sekaligus karakter-karakter yang tergambarkan dengan kompleks sehingga mampu membuat setiap penonton merasa terikat untuk mengikuti kisah perjalanan hidup mereka. Sebuah presentasi drama dengan kecerdasan emosional paling mengagumkan yang hadir di sepanjang tahun 2013 lalu.

inside-llewyn-davis-poster02. Inside Llewyn Davis (Directors: Joel Coen, Ethan Coen | Mike Zoss Productions/Scott Rudin Productions/StudioCanal, 2013)

Diinspirasi dari kehidupan penyanyi folk, Dave Van Ronk – yang salah satu lagunya, Green, Green Rocky Road juga ditampilkan dalam film ini, Inside Llewyn Davis berkisah mengenai kehidupan seorang penyanyi folk bernama Llewyn Davis (Oscar Isaac) setelah ditinggal oleh pasangan bermusiknya yang meninggal dunia akibat bunuh diri. Layaknya film-film yang diarahkan oleh Joel dan Ethan Coen, Inside Llewyn Davis masih menawarkan deretan humor khas kedua sutradara tersebut yang mampu tergarap dengan baik dan membuat film ini mungkin akan menjadi salah satu film paling humoris yang dapat Anda saksikan di sepanjang tahun lalu. Tidak hanya menghibur, Inside Llewyn Davis juga hadir begitu hangat dalam penceritaannya. Aliran kisah mampu disajikan dengan baik bersamaan dengan karakter-karakter yang akan mudah begitu disukai berkat kemampuan para jajaran pemerannya – termasuk seekor kucing tampan bernama Ulyssess – untuk menghadirkan para karakter tersebut dengan begitu hidup. Salah satu karya terbaik The Coen Brothers!

stories-we-tell-poster03. Stories We Tell (Director: Sarah Polley | National Film Board of Canada, 2013)

Apa yang akan Anda lakukan jika Anda mengetahui bahwa sosok pria yang selama ini Anda panggil dengan sebutan ayah serta saudara-saudara yang selama ini tumbuh dan hidup bersama Anda ternyata tidaklah memiliki ikatan darah secara langsung dengan Anda? Well… hal itulah yang terjadi pada Sarah Polley. Namun, daripada mengisahkan menjadi serangkaian episode melodrama a la deretan sinetron di saluran televisi Indonesia, Polley memutuskan untuk mencari sendiri kisah mengenai kehidupan keluarganya melalui penuturan kata-kata sang ayah, saudara-saudaranya serta orang-orang terdekat keluarga mereka. Apa yang dianggap sebagai sebuah bagian masa lalu yang memalukan bagi banyak orang justru kemudian direngkuh Polley dan dijadikannya sebagai sebuah kenangan manis sekaligus hangat ketika ia berhasil merangkai Stories We Tell sebagai sebuah sajian cerita yang akan mampu membuat setiap penonton menjadi bagian keluarga Polley sendiri.

django-unchained-poster04. Django Unchained (Director: Quentin Tarantino | The Weinstein Company/Columbia Pictures, 2012)

Senjata. Kekerasan. Darah. Dan lebih banyak darah. Hal-hal yang biasa Anda temukan dalam setiap film yang dihasilkan oleh Quentin Tarantino kembali dapat Anda jumpai pada Django Unchained – film terbarunya yang membahas mengenai masa-masa kelam Amerika Serikat dimana masyarakat kulit hitam menjadi masyarakat kelas dua dan mengalami perbudakan. Oh, tentu saja, komedi. Meskipun membawakan tema penceritaan yang cenderung sensitif – dan disajikan dalam gaya penceritaan western yang khas – Tarantino tetap berhasil menghadirkan gaya humornya yang unik tersebut dalam setiap adegan maupun dialog film ini. Hasilnya, Django Unchained kembali membuktikan bahwa Quentin Tarantino adalah salah satu dari sedikit pembuat film Hollywood yang sepertinya selalu memiliki ide segar (baca: gila) dalam merancang setiap karyanya.

gravity-poster-0205. Gravity (Director: Alfonso Cuarón | Warner Bros. Pictures/Esperanto Filmoj/Heyday Films, 2013)

Selain karena kegemaran mereka untuk berbagi cerita, umat manusia jelas menciptakan film agar mereka dapat merasakan pengalaman menjadi bagian sebuah dunia atau perjalanan atau petualangan dari jalan cerita yang mereka dengar atau saksikan. Sebuah pengalaman. Film teranyar arahan Alfonso Cuarón, Gravity, jelas dengan seksama melakukan hal tersebut. Dengan kualitas tatanan produksi audio visual yang mengagumkan, Cuarón mampu memberikan penontonnya sebuah pengalaman mengenai bagaimana rasanya menikmati perjalanan di luar angkasa sekaligus terjebak di dalamnya. Memang, Hollywood telah berulang kali mengeksploitasi angkasa luar sebagai bagian tidak terpisahkan dalam setiap film yang mereka produksi. Namun percayalah… kecuali Anda adalah seorang astronot yang telah berulang kali mengeksplorasi luar angkasa, maka Gravity akan menjadi satu-satunya kesempatan Anda untuk benar-benar melayang dan merasakan bagaimana pengalaman berada di lingkungan tanpa adanya gaya gravitasi tersebut. Gravity is, simply, the best cinematic experience of the year!

stranger-by-the-lake-poster06. Stranger by the Lake (L’inconnu du lac) (Director: Alan Guiraudie | Les films du losange, 2013)

Film asal Perancis yang berhasil memenangkan Alan Guiraudie penghargaan Best Director di ajang 2013 Cannes Film Festival ini mungkin bukanlah sebuah sajian yang akan mampu dicerna banyak orang – khususnya dengan keberadaan alur penceritaan yang mengalir (terlalu) tenang serta deretan adegan seks… errrgay sex, untuk tepatnya, yang ditampilkan secara eksplisit. Namun, dibalik anomali tersebut, Guiraudie berhasil menggarap sebuah film thriller yang dibalut dengan eksekusi drama yang begitu kuat. Perlahan namun pasti, Stranger by the Lake akan berhasil mengikat perhatian setiap penontonnya dengan misteri yang disajikan sekaligus deretan karakter yang mampu digambarkan dengan begitu baik di sepanjang penceritaan film ini. Unik… dan akan membuat banyak orang tidak akan melupakan film ini dalam jangka waktu yang cukup lama.

12-years-a-slave-poster07. 12 Years a Slave (Director: Steve McQueen | Regency Enterprises/River Road Entertainment/Plan B/New Regency/Film4, 2013)

Steve McQueen kembali bekerjasama dengan aktor favoritnya, Michael Fassbender – meskipun kali ini Fassbender hadir dalam porsi pemeran pendukung. Diadaptasi dari biografi berjudul sama karya Solomon Northup, 12 Years a Slave berkisah mengenai kehidupan seorang pria berkulit hitam, Solomon Northup (Chiwetel Ejiofor), yang diculik dan kemudian dipekerjakan sebagai seorang budak selama 12 tahun. Berbeda dengan Quentin Tarantino yang menangani Django Unchained dengan sentuhan komedi yang cukup kuat, naskah cerita 12 Years a Slave digarap oleh John Ridley dengan sisi emosional mendalam dan terasa sangat nyata. Pengarahan McQueen juga mampu tampil prima dalam mengarahkan alur penceritaan sekaligus penampilan akting para jajaran pemerannya. Drama tentang masa perbudakan yang berjalan begitu gelap dan tidak akan mudah dilupakan oleh siapapun seusai menyaksikannya.

prisoners-poster08. Prisoners (Director: Denis Villeneuve | Alcon Entertainment/8:38 Productions/Madhouse Entertainment, 2013)

Seperti halnya Incendies (2010), Prisoners jelas sekali lagi membuktikan kelihaian Denis Villeneuve dalam merangkai sebuah jalinan kisah misteri dengan balutan sentuhan emosional yang begitu kuat. Dengan naskah arahan Aaron Guzikowski yang cerdas, Villeneuve mampu membuat Prisoners menunjukkan secara gamblang mengenai bagaimana sesosok manusia yang berhati baik mampu melangkah ke dalam sisi gelap mereka ketika berada dalam kondisi yang begitu terdesak. Kemampuan Villeneuve dalam mengolah cerita yang didukung dengan penampilan apik para pengisi departemen akting serta kualitas tata produksi yang begitu cemerlang, termasuk tata sinematografi arahan Roger Deakins dan tata musik karya Jóhann Jóhannsson yang begitu mendukung kelamnya atmosfer jalan cerita film, mampu membuat Prisoners tampil prima dalam bercerita. Kuat, cerdas serta begitu emosional.

cloud-atlas-poster09. Cloud Atlas (Directors: Lana Wachowski, Tom Tykwer, Andy Wachowski | Cloud Atlas Productions/X-Filme Creative Pool/Anarchos Pictures/A Company Filmproduktionsgesellschaft/ARD Degeto Film/Ascension Pictures/Five Drops/Media Asia Group, 2012)

Diangkat dari novel berjudul sama karya David Mitchell, Cloud Atlas mengisahkan enam cerita yang berjalan pada enam era yang berbeda – tepatnya terjadi sepanjang hampir 500 tahun masa kehidupan karakter-karakternya, dimulai dari tahun 1849 hingga tahun 2321. Terdengar seperti premis film-film yang menawarkan banyak cerita kebanyakan? Mungkin saja. Namun oleh tiga sutradaranya, duo Lana dan Andy Wachowski (trilogi The Matrix, 1999 – 2003) serta Tom Tykwer (The International, 2009), premis tersebut mampu dikembangkan menjadi salah satu presentasi film paling ambisius selama beberapa tahun terakhir: digerakkan dengan gaya penceritaan interwoven, diperankan oleh deretan pengisi departemen akting yang sama serta dihadirkan dengan kualitas tata produksi yang begitu memukau. Dan yang lebih mengagumkan lagi, terlepas dari berbagai tampilan audio visualnya yang megah, Cloud Atlas tetap mampu menghadirkan sentuhan emosional yang kuat dari setiap sisi ceritanya. Cloud Atlas adalah sebuah pengalaman sinematikal mewah dan megah yang jelas tidak boleh dilewatkan begitu saja.

don't-talk-love-poster10. What They Don’t Talk About When They Talk About Love (Director: Mouly Surya | Cinesurya Pictures/Amalina Pictures, 2013)

What They Don’t Talk About When They Talk About Love adalah sebuah pencapaian yang berhasil menunjukkan bahwa Mouly Surya bukanlah seorang sutradara kemarin sore yang hanya beruntung dapat memenangkan empat penghargaan Festival Film Indonesia melalui debut penyutradaraannya. No! She’s a real deal. Lewat naskah yang ia garap sendiri, Mouly mampu menghadirkan sebuah tema penceritaan yang mungkin terkesan begitu sederhana namun dengan sudut pandang yang begitu segar, unik dan cerdas. Yang paling penting, Mouly memiliki visi yang kuat akan jalan cerita yang ingin ia hadirkan – baik dari presentasi gambar, suara maupun bagaimana para pemeran film ini menghidupkan karakter yang mereka perankan. Hal itulah yang membuat What They Don’t Talk About When They Talk About Love mampu berjalan begitu kelam sekaligus menghibur di saat yang sama. Sebuah presentasi yang sangat istimewa dari salah seorang sutradara tercerdas di Indonesia.

zero-dark-thirty-poster11. Zero Dark Thirty (Director: Kathryn Bigelow | Annapurna Pictures, 2012)

Sukses dengan The Hurt Locker (2008) yang berhasil memenangkan 6 penghargaan, termasuk Best Picture dan Best Director, di ajang The 82nd Annual Academy Awards, Kathryn Bigelow kembali hadir dengan Zero Dark Thirty – sebuah film yang mencoba untuk mendramatisasi usaha badan intelijen Amerika Serikat dalam menangkap tersangka teroris Osama Bin Laden. Dengan kandungan politis yang begitu berat, Zero Dark Thirty jelas bukanlah sebuah presentasi yang mudah. Walaupun begitu, Bigelow mampu menghadirkan kisahnya dengan begitu baik. Memadukan deretan karakter-karakter yang mampu dikembangkan dengan begitu sempurna – dan dihidupkan dengan sempurna pula oleh jajaran pemeran film ini – serta rentetan konflik yang akan mampu membuat setiap penonton turut larut dalam ketegangan yang dihadirkannya, Zero Dark Thirty menjadi sebuah pengalaman tersendiri ketika Bigelow berhasil menyajikan bukan hanya sebuah presentasi cerita film namun fakta perang yang begitu mengikat sekaligus mengejutkan.

Captain-Phillips-poster12. Captain Phillips (Director: Paul Greengrass | Michael De Luca Productions/Scott Rudin Productions/Translux/Trigger Street Productions, 2013)

Mereka yang hafal dengan film-film arahan Paul Greengrass jelas telah mengetahui apa yang akan mereka dapatkan dari Captain Phillips. Kegemaran Greengrass dalam menyajikan penceritaannya secara mendetil guna membangun intensitas ketegangan yang begitu memuncak sekali lagi berhasil diaplikasikan dalam Captain Phillips. Tidak lupa, dengan didukung naskah cerita yang begitu cerdas arahan Billy Ray, Greengrass mampu menghadirkan kisahnya sebagai sebuah presentasi yang nyata dan jauh dari kesan berlebihan seperti kebanyakan film sejenis yang digarap Hollywood. Ditambah dengan penampilan brilian dari Tom Hanks dan jajaran pengisi departemen akting lainnya, Captain Phillips adalah sebuah drama yang akan memaksa setiap penontonnya untuk terperangkap dalam sebuah intensitas ketegangan yang begitu tinggi.

stoker-poster-0213. Stoker (Director: Park Chan-wook | Fox Searchlight Pictures/Indian Paintbrush/Scott Free Productions, 2013)

Siapapun dapat berargumen bahwa semua orang dapat menghasilkan sebuah karya yang sesederhana Stoker. Walau pernyataan tersebut dapat Anda aplikasikan pada kualitas penceritaan yang dihantarkan film ini – tidak buruk namun jelas merupakan susunan cerita yang sederhana, namun dibutuhkan seorang sutradara dengan visi yang kuat untuk dapat mengeksekusinya menjadi sebuah presentasi yang sangat jauh melampaui kualitas dasar ceritanya. Park Chan-wook jelas sangat memahami naskah cerita arahan Wentworth Miller untuk kemudian menghadirkan struktur tatanan produksi yang mampu mendukung dan meningkatkan intensitas jalan cerita Stoker di berbagai sudutnya. Entah bagaimana jika Stoker jatuh dalam pengarahan sutradara lain. Namun di tangan Park, Stoker mampu hadir dengan atmosfer kelam yang begitu mempesona, intensitas seksual yang begitu mengikat serta ketegangan yang secara perlahan akan menenggelamkan setiap penontonnya – pencapaian yang jelas hanya dapat dilakukan oleh seorang sutradara dengan visi yang luar biasa cerdas. Stoker akan mengejutkan sekaligus menghantui setiap penontonnya.

the-hunger-games-catching-fire-poster-0214. The Hunger Games: Catching Fire (Director: Francis Lawrence | Color Force/Lionsgate, 2013)

Hadirnya Francis Lawrence, Simon Beaufoy dan Michael Arndt ternyata mampu mengangkat kualitas presentasi cerita dan pengarahan dari The Hunger Games: Catching Fire. Berkat jalinan cerita yang padat dari Beaufoy dan Arndt, The Hunger Games: Catching Fire tidak lagi terasa sebagai sebuah seri penceritaan yang berusaha menyenangkan para penonton young adult saja. Beaufoy dan Arndt memastikan bahwa penceritaan dari seri The Hunger Games turut bertambah dewasa seiring dengan berlanjutnya penceritaan seri film ini. Di kursi penyutradaraan, Lawrence mampu mengarahkan jalan ceritanya dengan sangat solid, menggarap cerita The Hunger Games: Catching Fire dengan ritme penceritaan yang tepat sekaligus mendapatkan penampilan akting terbaik dari jajaran pengisi departemen aktingnya, khususnya Jennifer Lawrence yang sekali lagi tampil begitu bersinar sebagai Katniss Everdeen. Sulit untuk membayangkan bagaimana seri berikut dari The Hunger Games akan mampu menyaingi penampilan kualitas dari The Hunger Games: Catching Fire. Sebuah sajian yang tetap menghibur namun lebih padat berisi dalam penyampaiannya.

blackfish-poster15. Blackfish (Director: Gabriela Cowperthwaite | CNN Films/Manny O. Productions, 2013)

Adalah sangat sulit untuk tidak merasa jatuh hati pada Blackfish, khususnya jika Anda adalah seorang yang begitu memperhatikan bagaimana sikap manusia dalam memperlakukan para fauna yang ada di muka Bumi. Gabriela Cowperthwaite sendiri mencoba untuk memfokuskan kisahnya pada perlakukan SeaWorld kepada para paus pembunuh. Dalam Blackfish, Cowperthwaite menggambarkan bagaimana pihak SeaWorld merenggut para paus pembunuh kecil dari orangtuanya di lautan untuk kemudian dilatih menjadi bagian dari atraksi pertunjukan mereka di berbagai negara. Cowperthwaite kemudian menunjukkan konsekuensi dari penangkapan dan penyekapan tersbeut bagi para paus pembunuh, khususnya kepada salah satu paus pembunuh yang dinamakan Tilikum:  Tilikum menjadi sosok yang berbahaya serta mampu membunuh manusia ketika ia merasa terganggu dan tertekan oleh keadaan sekitarnya. Sebagai sebuah media berargumen, Cowperthwaite mampu menyusun Blackfish dengan deretan argumen yang begitu kuat dan menjadikannya sebagai sebuah dokumenter yang efektif dalam penceritaannya.

rush-poster16. Rush (Director: Ron Howard | Exclusive Media/Cross Creek Pictures/Imagine Entertainment/Revolution Films/Working Title Films/Egoli Tossell Film/Action Concept Film- und Stuntproduktion/Merced Media Partners, 2013)

Beruntung, Rush bukanlah sekedar sebuah sports movie yang hanya mampu menghadirkan intensitas persaingan antara para karakter yang ada di dalam jalan ceritanya. Lebih dari itu, Ron Howard dan Peter Morgan mampu memberikan seluk beluk penceritaan yang lebih mendalam untuk Rush: mulai dari penggalian karakter yang begitu luas, kisah mengenai persaingan yang mampu digambarkan secara seimbang namun tetap terjalin kuat hingga esensi cerita mengenai sebuah kompetisi yang akan dengan mudah menemukan perbandingan dengan jalan kehidupan di dunia nyata manusia. Tertulis dengan begitu cerdas dan mampu dieksekusi dengan begitu lugas. Ditambah dengan kualitas tata teknis yang brilian, Rush jelas adalah sebuah presentasi berkelas yang akan mampu memberikan kesan yang mendalam bagi setiap penontonnya.

dallas-buyers-club-poster17. Dallas Buyers Club (Director: Jean-Marc Vallée | Truth Entertainment/Voltage Pictures, 2013)

Diangkat dari kisah nyata mengenai kehidupan seorang penderita AIDS bernama Ron Woodruff (Matthew McConaughey) yang kemudian mulai menyelundupkan sekaligus menjual obat-obatan terlarang ke Amerika Serikat ketika ia menyadari bahwa obat-obatan yang disediakan pemerintah masih sangat susah untuk didapatkan serta jauh dari efektif untuk menanggulangi penyakit mematikan tersebut, Dallas Buyers Club hadir dengan pengisahan yang cukup mendalam mengenai seluk beluk penyakit AIDS sekaligus bagaimana Amerika Serikat (baca: dunia) bereaksi ketika masa-masa awal penyakit tersebut mulai menghantui. Sutradara Jean-Marc Vallée jelas sangat beruntung memiliki nama-nama seperti Matthew McConaughey, Jared Leto dan Jennifer Garner mengisi barisan depan departemen aktingnya. Ketiganya mampu menghadirkan penampilan akting yang sangat meyakinkan dan membuat Dallas Buyers Club tampil begitu mengesankan dalam penceritaannya.

saving-mr-banks-poster18. Saving Mr. Banks (Director: John Lee Hancock | Walt Disney Pictures/BBC Films/Essential Media/Ruby Films/Hopscotch Features, 2013)

Siapa yang akan dapat menyangka bahwa film klasik Mary Poppins (1964) yang begitu dicintai banyak penonton film dunia tersebut turut menyimpan begitu banyak drama di balik layar pembuatannya? Berkisah mengenai usaha Walt Disney (Tom Hanks) untuk membujuk penulis buku cerita anak-anak, P. L. Travers (Emma Thompson), agar mau memberikan hak adaptasi buku terpopuler karangannya, Mary Poppins, kepada rumah produksinya, Saving Mr. Banks mungkin bukanlah sebuah presentasi yang mampu menghadirkan banyak kejutan dalam kehadiran ceritanya. Meskipun begitu, lewat naskah arahan Kelly Marcell dan Sue Smith yang tertata dengan begitu rapi serta arahan John Lee Hancock yang mampu mengeksekusi tatanan cerita tersebut dengan begitu efektif, Saving Mr. Banks mampu tampil menjadi sebuah sajian kisah berorientasi keluarga yang sangat hangat untuk dinikmati.

the-conjuring-poster19. The Conjuring (Director: James Wan | The Safran Company/Evergreen Media Group/New Line Cinema, 2013)

Layaknya film-film horor klasik, James Wan mengeksekusi jalan cerita yang telah ditulis Chad dan Carey Hayes secara perlahan, membiarkan setiap plot penceritaan untuk berkembang dengan baik sekaligus memberikan ruang yang cukup untuk setiap karakter dalam memaparkan kisah mereka. Hasilnya, meskipun harus diakui bahwa The Conjuring tidak akan mampu tampil sekuat Insidious (2011) dalam menakuti para penontonnya, namun Wan jelas telah menghadirkan The Conjuring dengan eksekusi penceritaan yang jauh lebih baik dari Insidious maupun film-film yang telah ia garap sebelumnya. Jelas adalah sangat menyenangkan untuk menyaksikan sebuah film horor yang murni bergantung pada atmosfer kengeriannya dan sama sekali tidak bertumpu pada hal-hal klise yang seringkali dieksploitasi dalam film-film sejenis. Berdiri sejajar bersama Insidious dan Sinister sebagai salah satu film horor terbaik dalam beberapa tahun terakhir.

frozen-poster20. Frozen (Directors: Christopher Buck, Jennifer Lee | Walt Disney Animation Studios/Walt Disney Pictures, 2013)

Film animasi produksi Walt Disney Animation Studios ke-53 ini terbukti mampu mengikuti jejak Tangled (2010) dan Wreck-It Ralph (2012) dalam membuktikan peningkatan kembali kualitas film-film animasi yang dihasilkan rumah produksi tersebut. Meskipun begitu, jika ingin melihat dengan seksama dari sisi naskah ceritanya, Frozen terkesan terjebak diantara kualitas penceritaan Tangled yang masih masih kental dengan nuansa film-film animasi klasik Walt Disney Animation Studios dengan nuansa penceritaan modern dan lebih progresif yang ditawarkan oleh Wreck-It Ralph. Hasilnya, Frozen seringkali kehilangan fokus penceritaan dan gagal menyentuh level emosional yang kuat seperti kebanyakan film-film produksi Walt Disney Animation Studios lainnya, khususnya pada paruh kedua penceritaan film. Bukan sebuah hal yang buruk. Chris Buck dan Jennifer Lee tetap mampu merangkai Frozen menjadi sebuah presentasi yang cukup menyenangkan untuk disaksikan dengan menggunakan daya tarik lagu-lagunya, tampilan visual yang memikat serta karakter-karakter seperti Olaf yang begitu mudah untuk dicintai. Pixar Animation Studios kali ini sepertinya benar-benar harus waspada dengan saudaranya yang satu ini!

5 thoughts on “A Year in Review: 20 Best Movies of 2013”

  1. Mayoritas setuju, kecuali Cloud Atlas & Zero Dark Thirty. Bagi saya Clod Atlas adalah worst cinematic experience of the year.. 🙂 Sedangkan ZDT, terlalu lambat & bertele2 utk menuju klimaks yg kita semua sdh tahu bagaimana endingnya. Mungkin krn saya terlanjur berekspektasi akan mendapatkan sajian action intelijen sekelas Bourne series.. 🙂

Leave a Reply