Review: Jakarta Hati (2012)


Seperti halnya Jakarta Maghrib (2010) – film yang menjadi debut penyutradaraan bagi Salman Aristo, Jakarta Hati juga merupakan sebuah film yang terdiri dari beberapa potong kisah dengan menjadikan Jakarta sebagai latar belakang lokasi ceritanya. Terdiri dari enam kisah yang tidak saling berkaitan satu sama lain, Jakarta Hati dibuka dengan kisah berjudul Orang Lain yang menceritakan mengenai kisah pertemuan seorang lelaki yang berusia di pertengahan 30-an (Surya Saputra) dengan seorang gadis muda (Asmirandah) di sebuah pub malam. Keduanya telah menjadi korban pengkhianatan cinta dari pasangannya masing-masing. Bersama, keduanya kemudian menyusuri kelamnya malam di kota Jakarta sambil berusaha menjawab pertanyaan mengapa mereka bisa menjadi korban atas rasa cinta mereka terhadap pasangan masing-masing.

Dari problema romantika, Jakarta Hati kemudian menyentuh elemen sosial politis dalam kisah Masih Ada. Segmen ini menceritakan mengenai seorang anggota dewan perwakilan rakyat bernama Marzuni (Slamet Rahardjo) yang sedang terburu-buru untuk menghadiri sebuah pertemuan penting. Sialnya, akibat kendaraan pribadi miliknya sedang rusak, Marzuni terpaksa harus menggunakan fasilitas transportasi umum. Namun, di balik apa yang dianggap Marzuni sebagai ‘nasib sial’ tersebut, Marzuni ternyata kemudian diberikan kesempatan untuk menyelami seluk-beluk kehidupan Jakarta dengan lebih dekat lagi.

Apa yang akan Anda lakukan jika Anda, sebagai seorang penegak hukum, harus berhadapan dengan ayah kandung Anda yang ternyata sedang didakwa menjadi tersangka dalam sebuah kasus yang melanggar aturan hukum? Premis itulah yang dihadirkan dalam segmen ketiga Jakarta Hati, Kabar Baik. Seorang polisi muda bernama Bana (Andhika Pratama) diharuskan untuk mengisi berkas Berita Acara Pemeriksaan dari kasus penipuan yang menempatkan ayah kandungnya (Roy Marten) – yang telah lama menghilang dari kehidupannya – sebagai tersangka utamanya. Bana jelas kini dihadapkan dengan sebuah dilema besar antara kehidupan personal dan profesionalnya.

Segmen keempat dalam Jakarta Hati, Hadiah, berkisah mengenai dilema hati seorang penulis naskah cerita film bernama Firman (Dwi Sasono) yang sedang ditawari untuk menuliskan naskah cerita film komedi seks berjudul Pocong Impoten. Bagi Firman, menerima tawaran tersebut jelas akan merendahkan integritas dirinya sendiri. Di lain pihak, kondisi finansial Firman sendiri saat ini sedang berada dalam posisi yang sangat menyedihkan. Ditambah dengan keberadaan seorang anak yang menjadi tanggungannya, Firman jelas tengah berada dalam posisi yang sulit antara memilih untuk tetap mempertahankan harga diri dan kepercayaan hatinya atau berusaha mengamankan kehidupan orang yang sangat ia cintai.

Dalam Gelap menjadi kisah kelima yang dihadirkan dalam Jakarta Hati. Dalam bagian ini, dikisahkan sepasang suami istri (Dion Wiyoko dan Agni Pratistha), yang hubungan pernikahan mereka telah berjalan sangat hambar sehingga keduanya tidak lagi mempedulikan kehadiran satu sama lain, diharuskan untuk menjalin komunikasi ketika keduanya sama-sama terjebak dalam kegelapan akibat pemdaman listrik bergilir. Secara perlahan, komunikasi antara keduanya mulai mengalir. Komunikasi yang ternyata kemudian membuka berbagai luka yang sebenarnya telah lama menganga di dalam perjalanan usia pernikahan mereka.

Sentuhan komedi kuat terasa dalam segmen terakhir yang berjudul Darling Fatimah. Berlatar belakang lokasi di Pasar Senen, Darling Fatimah berkisah mengenai seorang wanita penjual kue bernama Fatimah (Shahnaz Haque). Selain populer karena kue-kue dagangannya yang enak, Fatimah juga terkenal karena keceriwisan cara bicaranya – yang acapkali membuat risih bagi mereka yang mendengarnya. Namun, ketika harus dihadapkan dengan seorang pemuda bernama Ayun (Framly Nainggolan), keceriwisan Fatimah berubah menjadi kegalauan hati yang berisi masalah cinta, keluarga dan pernikahan.

Rasanya akan sangat sulit untuk tidak jatuh hati pada Jakarta Hati. Berbeda dengan Jakarta Maghrib yang seringkali terlihat berusaha untuk mempuitiskan berbagai elemen cerita yang terdapat di dalamnya, Jakarta Hati justru mampu dihadirkan Salman Aristo dengan sisi penceritaan yang lebih sederhana namun tetap cemerlang dalam menghadirkan intensitas emosional cerita. Salman juga berhasil menghadirkan karakter-karakter yang lebih berwarna serta menarik dalam setiap segmen cerita Jakarta Hati sekaligus, yang tak kalah pentingnya, setiap segmen cerita Jakarta Hati mampu memberikan sudut pandang kota Jakarta yang lebih bervariatif lagi bagi penontonnya.

Memang, Jakarta Hati bukannya hadir tanpa masalah. Segmen Orang Lain yang membuka film omnibus ini jelas terasa terlalu puitis untuk dapat benar-benar terjadi dalam dunia nyata – apalagi jika dibandingkan dengan deretan segmen penceritaan lain yang memiliki alur penceritaan yang jauh lebih alami. Chemistry antara Surya Saputra dan Asmirandah juga tidak selancar yang seharusnya – yang membuat hubungan kilat yang terjalin antara keduanya dalam satu malam sulit untuk dapat dipercaya. Persinggungan dengan unsur politik yang terjadi pada segmen Masih Ada juga digambarkan dengan penggalian konflik dan latar belakang cerita yang terlalu minim. Pun begitu, penampilan Slamet Rahardjo jelas membuat Masih Ada berhasil tampil lebih hidup dan meyakinkan.

Pengisahan terkuat dari Jakarta Hati hadir pada segmen ketiga yang berjudul Kabar Baik yang dapat dipastikan akan mampu memberikan banyak momen emosional bagi penontonnya lewat penampilan kuat dari Roy Marten dan (yang cukup mengejutkan) Andhika Pratama. Hadiah juga mampu hadir dengan jalan cerita yang menarik, walau kadang terkesan terlalu panjang dan kurang mampu berbicara dalam segi emosional. Salman Aristo juga terlihat berusaha memberikan tantangan penceritaan yang lebih dalam Dalam Gelap yang, seperti yang dapat ditangkap dari judulnya, seluruh presentasi gambarnya hadir tanpa keberadaan cahaya sedikitpun. Gerak tubuh serta dialog yang kuat antara Dion Wiyoko dan Agni Pratistha jelas menjadi nyawa utama bagi segmen ini. Dan keduanya berhasil mengeksekusi cerita tersebut dengan sempurna. Sementara Darling Fatimah rasanya akan mampu menjadi kisah penutup yang memuaskan serta segar khususnya dengan penampilan Shahnaz Haque yang benar-benar  menghibur.

Dilihat secara sekilas, Jakarta Hati mengikuti formula yang sama seperti yang pernah dihadirkan Salman Aristo dalam debut penyutradaraannya terdahulu, Jakarta Maghrib (2010): berisi kumpulan cerita pendek mengenai deretan karakter yang hidup di tengah hiruk-pikuknya kehidupan kota Jakarta. Pun begitu, tidak seperti Jakarta Maghrib yang seringkali terasa tertatih dalam bercerita di setiap segmennya, Aristo mampu hadir dengan keluwesan penceritaan yang lebih baik dalam Jakarta Hati. Ditambah dengan keberhasilan Aristo untuk menyajikan setiap cerita dengan tingkat intensitas emosional yang cukup mendalam serta penampilan para jajaran pemerannya yang mampu menghadirkan penampilan terbaik mereka, Jakarta Hati tidak hanya berhasil tampil lebih unggul dari pendahulunya, namun juga mampu menjadi salah satu film Indonesia terbaik tahun ini.

Jakarta Hati (13 Entertainment, 2012)

Jakarta Hati (2012)

Directed by Salman Aristo Produced by Lavesh M Samtani, Manoj K Samtani Written by Salman Aristo Starring Slamet Rahardjo, Andhika Pratama, Roy Marten, Dwi Sasono, Agni Pratistha, Dion Wiyoko, Shahnaz Haque, Framly Nainggolan, Surya Saputra, Asmirandah, Didi Petet, Jajang C Noer, Agus Kuncoro, Yayu AW Unru, Rendy Ahmad, Cowboy Junior, Herdin Hidayat, Bastian Bintang Simbolon Music by Jenal Cinematography Joel F Zola Editing by Cesa David Luckmansyah Studio 13 Entertainment Running time 114 minutes Country Indonesia Language Indonesian

5 thoughts on “Review: Jakarta Hati (2012)”

    1. Kalau di layar lebar sih udah lewat masa tayangnya. Belum tahu kapan akan tayang di televisi.

Leave a Reply