Review: Negeri 5 Menara (2012)


Tidak salah jika Negeri 5 Menara kemudian mendapatkan perbandingan dalam skala berat terhadap film Laskar Pelangi (2008) yang legendaris itu. Sama-sama merupakan film dengan naskah cerita yang mengadaptasi sebuah novel popular, sama-sama mengisahkan mengenai perjuangan beberapa anak dari keluarga dari strata sosial menengah ke bawah yang mencoba untuk mencapai mimpi besar mereka serta, tentunya, sama-sama mengisahkan mengenai persahabatan erat yang kemudian terjalin antara mereka terlepas dari berbagai perbedaan yang terdapat dalam diri masing-masing, Negeri 5 Menara, sayangnya tidak memiliki kedalaman cerita seperti yang dimiliki Laskar Pelangi. Affandi Abdul Rachman (The Perfect House, 2011) kembali membuktikan kehandalannya dalam mengarahkan cerita dan para pengisi departemen akting filmnya. Namun jalan cerita yang minim konflik yang berarti membuat Negeri 5 Menara terasa tidak memiliki esensi cerita yang kuat untuk disampaikan.

Diangkat dari novel populer berjudul sama karya A Fuadi, Negeri 5 Menara memulai kisahnya dengan seorang karakter anak laki-laki yang bernama Alif (Gazza Zubizareta). Bersama temannya, Randai (Sakurta Ginting), Alif bertekad untuk melanjutkan sekolahnya di sebuah sekolah menengah atas popular di Bukit Tinggi demi mencapai impian mereka untuk dapat berkuliah di Institut Negeri Bandung. Sebuah impian yang kemudian harus dikubur Alif dalam-dalam karena kedua orangtuanya (David Chalik dan Lulu Tobing) lebih menginginkan agar Alif melanjutkan pendidikannya melalui jalur pendidikan sebuah pesantren di Ponorogo, Jawa Timur. Walaupun berat, Alif akhirnya menyetujui keinginan kedua orangtuanya tersebut.

Setibanya di Pesantren Madani – nama pesantren yang terletak di daerah Ponorogo tersebut, Alif mulai membiasakan diri dengan lingkungan barunya. Awalnya, Alif hanya bersikap setengah hati dalam melakukan proses kegiatan belajarnya di pesantren tersebut. Namun, lama-kelamaan, Alif mulai menikmati kehidupan barunya, khususnya setelah ia mengenal sahabat-sahabat barunya, Baso (Billy Sandy) yang berasal dari Gowa, Atang (Rizki Ramdani) yang berasal dari Bandung, Raja (Jiofani Lubis) yang berasal dari Medan, Said (Ernest Samudera) yang berasal dari Surabaya serta Dulmadjid (Aris Putra) yang berasal dari Madura. Bersama-sama, keenam anak lelaki yang menemukan diri mereka sebagai Sahibul Menara tersebut mulai menjalani berusaha semampu mereka untuk belajar guna membangun titian hidup yang lebih baik lagi di masa yang akan mendatang.

Sejujurnya, sama sekali tidak ada masalah berarti dalam Negeri 5 Menara. Namun, ketiadaan masalah itulah yang membuat Negeri 5 Menara terasa kurang dramatis dan sedikit gagal untuk mampu tampil lebih berkesan. Naskah cerita Negeri 5 Menara yang dituliskan oleh Salman Aristo (Jakarta Maghrib, 2011) seringkali tampil dalam area penceritaan yang terbatas, hanya mampu terlihat menceritakan mengenai kehidupan para karakternya dari permukaan kehidupan mereka tanpa pernah berhasil menyentuh dan menceritakan permasalahan yang mereka hadapi secara lebih mendalam. Tidak ada konflik yang dikisahkan berjalan terlalu rumit maupun kompleks dalam jalan cerita film ini. Di satu sisi, jelas hal ini akan membuat Negeri 5 Menara menjadi lebih mudah untuk dicerna. Di sisi lain, yang sayangnya tampil lebih dominan, ketiadaan konflik yang berarti tersebut membuat Negeri 5 Menara terkesan kurang esensial.

Keluhan lain mungkin akan muncul dari pengisahan ending cerita film ini. Dengan minimnya konflik yang berarti pada jalan cerita Negeri 5 Menara, ending yang dipilihkan untuk jalan cerita film ini menjadi terkesan datang dengan tiba-tiba dan ditampilkan dengan terlalu buru-buru. Hasilnya, wajar jika beberapa penonton merasa sedikit kurang nyaman dan merasa ending kisah Negeri 5 Menara tampil kurang menggigit. Untungnya, karakter-karakter yang dihadirkan dalam jalan cerita Negeri 5 Menara mampu dihadirkan sebagai deretan karakter yang mudah untuk disukai. Karenanya, meskipun permasalahan yang mereka hadapi terkesan cukup sepele dan kurang mendalam, penonton tetap akan mudah merasakan rasa simpati dan terhubung kepada karakter-karakter tersebut. Penulisan plot komedi pada beberapa sudut cerita juga berhasil membuat jalan cerita dan karakter-karakter dalam Negeri 5 Menara tampil lebih menarik.

Sebagai seorang sutradara, Affandi Abdul Rachman juga mampu menunjukkan kapabilitasnya dalam mengarahkan para pengisi departemen akting filmnya. Dipimpin oleh jajaran pemeran muda yang masih minim mengecap dunia akting, Affandi mampu mengeluarkan kemampuan akting terbaik setiap pemainnya sehingga membuat mereka tampil alami dengan chemistry yang erat antara satu pemain dengan yang lain. Kehadiran pemeran-pemeran dewasa seperti Lulu Tobing, Ikang Fawzi, David Chalik dan Donny Alamsyah semakin memperkokoh barisan akting film Negeri 5 Menara yang tampil memuaskan. Walaupun tidak ada yang menonjol dan istimewa, tata produksi Negeri 5 Menara juga berhasil menjadi faktor keunggulan yang akan membuat setiap penonton menikmati setiap momen yang mereka lewati ketika menyaksikan film ini.

Anda boleh saja memandang sebelah mata terhadap Negeri 5 Menara dan menganggapnya sebagai sebuah versi (terlalu) ringan dari film Laskar Pelangi. Benar, kurangnya tampilan konflik yang mampu hadir memikat membuat Negeri 5 Menara terasa kurang begitu mampu untuk mengikat erat emosi para penontonnya. Namun, Anda tidak dapat menyangkal kekuatan cara penyajian cerita Affandi Abdul Rachman yang ia hadirkan di film ini. Affandi mampu menjaga intensitas aliran emosi dari jalan cerita dengan begitu baik, sama baiknya dengan kemampuannya dalam mengarahkan setiap pengisi jajaran departemen akting film ini untuk mampu tampil meyakinkan serta menghadirkan kisah Negeri 5 Menara dengan dengan tata produksi yang unggul. Bukan sebuah karya yang istimewa, namun jelas merupakan sebuah karya dengan sentuhan kualitas yang tinggi.

Negeri 5 Menara (Simple Pictures/KG Productions/Million Pictures/IB Perbankan Syariah)

Negeri 5 Menara (2012)

Directed by Affandi Abdul Rachman Produced by Salman Aristo, Aoura Lovenson Chandra, Dinna Jasanti Written by Salman Aristo (screenplay), A. Fuadi (novel, Negeri 5 Menara) Starring Nur Salis Alamin, Nur Nevi Awanggi, Ghecca Tavvara, Inez Tagor, Arifal Faozi, Khiva Iskak, Qhivva Tawwata, Donny Alamsyah, Rangga Djoned, Ahmad Dhahnial, Gazza Zubizareta, Ariyo Wahab, Udjo Permato, Hardy Hartono, D Syamrizal Ardiwinata, Faizal, Ence Bagus, Eriska Rein, Aris Putra, Billy Sandy, Ernest Samudera, Rizki Ramdani, Jiofani Lubis, Lulu Tobing, Ikang Fawzi, Martesa Sumendra, David Chalik, Mario Irwinsyah, Tegar Satrya, Martesa Sumendra, Meirayni Fauziah, Sakurta Ginting, Andhika Pratama Music by Bemby Gusti, Ramondo Gascaro Cinematography Roy Lolang Editing by Cesa David Luckmansyah Studio Simple Pictures/KG Productions/Million Pictures/IB Perbankan Syariah Running time 119 minutes Country Indonesia Language Indonesian

5 thoughts on “Review: Negeri 5 Menara (2012)”

  1. Saya termasuk yang sependapat terkaiat review film ini. Jujur ketika saya lihat film ini, saya terkejut. Cerita pada film ini merombak habis-habisan dari novelnya. Sehingga novel dan film tidak mempunyai keterkaitan yang erat. Semua kekecewaan dari film ini akan terbayar apabila kita membaca novelnya. Kualitas penceritaan pada novel sangat jauh lebih baik dari pada filmnya. Saya heran dengan penceritaan di film ini. Padahal ada Salman Aristo yang berhasil mengalihbahasakan Laskar Pelangi ke Film, tapi Salman Aristo tidak dapat memuaskan penonton (khususnya saya), yang mengharapkan penceritaan terbaik.

  2. Saya tidak baca novelnya, jadi saya tidak bisa membandingkan film ini dengan bukunya.

    Buat saya, ceritanya sangat bagus. Cara berceritanya bukan gaya konvensional, tapi lebih seperti orang yang menceritakan kisah hidupnya, seperti sebuah buku-harian. Ceritanya juga lebih mengutamakan realita (karena itu, kisah tokoh dengan Sarah dibiarkan mengambang; atau yang akhirnya menggapai mimpi 5 menara cuman 3 orang)

    Adegan-adegannya juga banyak yang berkesan. Misalkan adegan “manjada wajada” di bagian awal. Itu keren abis, men! (namun saya kurang suka aktingnya di bagian itu. Gurunya keliatan terlalu bernafsu meneriakan kata-kata itu).

    Atau adegan momen klimaks ketika tokoh-utamanya dilema untuk keluar pesantren atau pindah ke bandung. Atau adegan ketika tokoh-utamanya tertarik pada si sarah. dan banyak lagi.

    Yang saya kurang suka adalah kualitas visualnya (framing, lighting, dll).

Leave a Reply