Review: Conan the Barbarian (2011)


Semenjak diterbitkan pertama kali oleh majalah Weird Tales pada tahun 1932 sebagai rangkaian kisah fantasi yang ditulis oleh Robert E. Howard, karakter Conan the Barbarian telah menjelma menjadi salah satu karakter fiksi paling dikenal dalam sejarah industri hiburan Amerika Serikat. Tidak hanya kemudian kisah tersebut diadaptasi ke dalam bentuk komik yang diterbitkan oleh Marvel Comics, Conan the Barbarian juga menemukan kepopuleran yang lebih besar setelah diadaptasi ke banyak medium hiburan lainnya, seperti video games, serial televisi, hingga dua buah film layar lebar – Conan the Barbarian (1982) yang naskahnya dikerjakan oleh Oliver Stone serta Conan the Destroyer (1984) – yang dibintangi dan berhasil meroketkan nama Arnold Schwarzenegger.

Setelah peluncuran Conan the Destroyer, yang sayangnya kurang mendapatkan sambutan positif dari para penonton, sebenarnya Conan the Conqueror sempat direncanakan untuk diproduksi dan melengkapi trilogi film Conan the Barabarian. Sayang, proses perencanaan produksi yang terlalu lama kemudian membuat Schwarzenegger lebih memilih untuk membintangi Predator (1987) sekaligus membuat Conan the Conqueror gagal untuk diproduksi sama sekali. Beberapa usaha untuk kembali membawa kisah Conan the Barbarian kembali ke layar lebar sempat dilakukan oleh beberapa nama sutradara besar seperti John Milius, The Wachowskis, Robert Rodriguez, Boaz Yakin hingga Brett Rattner.

Namun tidak hingga Juni 2009, ketika sutradara Marcus Nispel terpilih untuk menjadi sutradara sebuah versi baru dari kisah Conan the Barbarian, proses produksi film ini akhirnya benar-benar dapat terwujud. Hasilnya… seperti yang dapat penonton saksikan saat ini. Sebuah film aksi dengan durasi 112 menit yang kemungkinan besar akan berhasil membuat siapapun yang menyaksikannya tertidur dengan pulas. Dengan pengalamannya dalam mengarahkan Pathfinder (2007), sebuah film aksi fantasi yang juga menggunakan latar belakang di waktu masa lalu, Nispel sebenarnya telah memiliki modal yang cukup untuk membuat Conan the Barbarian tampil elegan. Well… secara visual, Conan the Barbarian memang berhasil tampil memuaskan. Namun dari segi cerita, Conan the Barbarian benar-benar hadir tanpa kesan. Jauh meninggalkan harapan para penontonnya bahwa mereka datang untuk menyaksikan deretan adegan aksi yang memukau.

Conan the Barbarian dibuka dengan sebuah narasi oleh Morgan Freeman. Ya saudara, saudara. Morgan Freeman merelakan talenta suaranya yang telah begitu dikenal untuk muncul dalam sebuah film yang hadir tanpa adanya kualitas ini. Dikisahkan, Conan terlahir di sebuah medan perang oleh ibunya yang tidak lama segera meninggal dunia segera setelah melahirkannya. Setelah beberapa lama dan mendapatkan pendidikan mengenai kejamnya kehidupan dunia oleh sang ayah, Corin (Ron Perlman), Conan akhirnya juga harus terpaksa merelakan kepergian ayahnya dibunuh oleh Khalar Zym (Stephen Lang), yang bersama pasukannya telah menghancurkan desa tempat Conan dan ayahnya tinggal demi mencari potongan Mask of Acheron untuk dapat membangkitkan kembali istrinya yang telah meninggal. Sendirian, Conan akhirnya berjanji untuk membalaskan dendam kematian sang ayah terhadap pembunuhnya.

Beberapa tahun kemudian, Conan (Jason Momoa), telah tumbuh menjadi seorang pejuang yang tangguh dan siap untuk membalaskan dendam sang ayah. Tentu saja, dalam perjalanan untuk membalaskan dendam tersebut, Conan kemudian bertemu dengan seorang wanita yang akan membentuk sebuah potongan kisah cinta dengan dirinya, Tamara (Rachel Nichols). Di saat yang bersamaan, Khalar Zym juga ternyata tengah memburu Tamara karena ia percaya bahwa darah yang mengalir di tubuh Tamara menyimpan sebuah kekuatan yang menjadi kunci untuk membangkitkan kembali istrinya dari kematian.

Harus diakui, hampir seluruh penonton yang berniat untuk menyaksikan Conan the Barbarian tentu saja tidak akan datang untuk mengharapkan sebuah jalinan kisah berkualitas pemenang banyak ajang penghargaan. Conan the Barbarian murni adalah sebuah film yang dibuat untuk memuaskan hasrat penonton yang menginginkan adanya deretan aksi yang megah, dengan seorang karakter pahlawan yang menghajar setiap musuhnya sekaligus menyelamatkan sang pujaan hatinya. Cukup sederhana. Dan justru di bagian itu jajaran penulis Conan the Barbarian menciptakan kegagalan terbesarnya. Daripada memperbanyak porsi kehadiran adegan aksi di film ini, Conan the Barbarian justru tampil bagaikan rangkaian adegan perjalanan karakter Conan untuk menemui karakter Khalar Zym. Rangkaian kumpulan adegan, dan bukan dalam bentuk sebuah kesatuan cerita.

Thomas Jean Donnelly, Joshua Oppenheimer dan Sean Hood sebagai tim penulis naskah Conan the Barbarian boleh saja menanggung kesalahan akibat tipisnya penceritaan yang dihadirkan dalam film ini. Namun hal tersebut tidak lantas melepaskan tanggung jawab dari pundak Marcus Nispel. Nispel adalah orang yang seharusnya mampu mengarahkan tim produksinya untuk menghasilkan deretan adegan yang mampu tampil menarik. Namun, bahkan dengan pengalamannya dalam mengarahkan Pathfinder, Nispel tidak mampu melakukannya di film ini. Berbagai adegan aksi yang disajikan terkesan bagaikan sebuah adegan medioker, dengan tanpa kemampuan Nispel untuk merangkai adegan-adegan tersebut menjadi lebih hidup.

Dan departemen akting. Pemilihan Jason Momoa – yang dulu sempat populer lewat serial televisi Baywatch Hawaii (1999 – 2001) dan akhir-akhir ini kembali memperoleh kepopulerannya setelah membintangi serial Game of Thrones – secara fisik telah cukup mampu memenuhi kapabilitas yang diperlukan dari seorang karakter yang terlibat banyak beradegan laga. Namun ketika Momoa diharuskan mengucapkan dialog? Momoa tampil dengan begitu datar dan tanpa adanya emosi sedikitpun. Jajaran pemeran lainnya tampil tidak kalah mengganggunya. Stephen Lang hadir dengan karakterisasi yang sulit dibedakan dengan karakter antagonis yang telah banyak ia perankan sebelumnya. Rachel Nichols tampil bagus hanya ketika ia diharuskan untuk menampilkan kemampuannya dalam menjerit. Dan Rose McGowan… memberikan sebuah penampilan yang memastikan dirinya akan mendapatkan sebuah nominasi di ajang Razzie Awards mendatang.

Kesalahan yang paling dapat dirasakan dari Conan the Barbarian arahan Marcus Nispel adalah ketika film yang seharusnya mengisahkan mengenai usaha sang karakter utamanya untuk menuntut balas atas kematian sang ayah beralih fokus menjadi usah sang karakter antagonis dalam mencapai tujuannya yang ditampilkan lebih menarik perhatian. Kesalahan tersebut, selain mencuri perhatian utama dari sang karakter utama, juga membuat jalan cerita secara keseluruhan terasa begitu hampa dan datar. Conan the Barbarian tidak hadir tanpa beberapa momen aksi yang cukup memukau. Namun momen-momen tersebut hadir terlalu minim sehingga tidak akan mampu mencegah para penonton Conan the Barbarian untuk tidak merasakan rasa kantuk dan kebosanan luar biasa ketika menyaksikan film ini.

Conan the Barbarian (Nu Image Films/Millennium Films/Paradox Entertainment, 2011)

Conan the Barbarian (2011)

Directed by Marcus Nispel Produced by Fredrik Malmberg, Avi Lerner, Danny Lerner, Boaz Davidson, Joe Gatta, John Baldecchi, Randall Emmett, Les Weldon Written by Thomas Dean Donnelly, Joshua Oppenheimer, Sean Hood (screenplay), Robert E. Howard (story, Conan the Barbarian) Starring Jason Momoa, Rachel Nichols, Stephen Lang, Rose McGowan, Morgan Freeman, Saïd Taghmaoui, Leo Howard, Bob Sapp, Ron Perlman, Steven O’Donnell, Nonso Anozie Music by Tyler Bates Cinematography Thomas Kloss Editing by Ken Blackwell Studio NuImage Films/Millennium Films/Paradox Entertainment Running time 112 minutes Country United States Language English

2 thoughts on “Review: Conan the Barbarian (2011)”

  1. Mas Amir, perkenalkan nama saya Agus. Saya adalah seorang newbie dalam dunia per-blogging-an. Hehe… Saya suka sekali membaca review film dari Mas Amir bahkan tidak jarang dijadikan pedoman sebelum nonton di bioskop. Sekarang saya baru mulai belajar me-review film kayak Mas, makanya saya tambahkan blog Mas Amir ke blog saya. Boleh kan. Mas? Hehe….Salam Movies!!

    1. Halo, Mas Agus!

      Hadeuh… Saya nih yang harus banyak-banyak berterima kasih karena Mas Agus telah sering mampir di blog saya. Malah diberikan pujian sering dijadikan pedoman menonton. Terima kasih sekali atas kepercayaannya, Mas Agus! Saya merasa sangat terhormat!

      Dan semangat untuk nulis review film-nya! Senang bisa saling berkenalan dengan orang yang juga sangat mencintai film.

      Salam movies!

Leave a Reply