Review: Serdadu Kumbang (2011)


Sebuah film Indonesia. Dengan latar belakang cerita di sebuah daerah yang mungkin belum banyak dieksplorasi oleh para sineas perfilman negara ini. Menggunakan anak-anak setempat sebagai pemerannya. Mengisahkan tentang kehidupan sehari-hari dari anak-anak tersebut. Memberi fokus lebih pada satu karakter anak dimana ia sedang memiliki permasalahan dalam menghadapi kehidupan atau keluarganya. Dan jika beruntung, sebuah kisah mengenai pendidikan yang didapatkan oleh anak-anak tersebut. Laskar Pelangi (2008)? Bukan. Denias, Senandung di Atas Awan (2006) ? Bukan. The Mirror Never Lies? Bukan. Batas? Juga bukan.

Film ini berjudul Serdadu Kumbang. Diarahkan oleh Ari Sihasale, yang lewat rumah produksi yang ia miliki bersama istrinya Nia Zulkarnaen, Alenia Pictures, pernah memberikan penonton Indonesia film Senandung di Atas Awan dan Tanah Air Beta (2010), Ari masih setia untuk mengangkat kehidupan anak-anak dari daerah terpencil sebagai fokus cerita di filmnya. Sayangnya, saat ini seluruh sineas perfilman Indonesia juga sepertinya sedang keranjingan untuk menghasilkan film-film bertema sama. Jangan salah tanggap, adalah sebuah hal yang sangat terpuji untuk mencari berbagai sisi lain dari banyak daerah Indonesia untuk ditampilkan dalam film Indonesia. Hanya saja, akhir-akhir ini para sineas Indonesia sepertinya telah kehabisan akal mengenai bagaimana untuk menampilkan tema tersebut ke hadapan penonton Indonesia. Akhirnya, seluruh film yang mengeksplorasi wilayah dan bakat dari daerah terpencil di Indonesia tersebut berakhir dengan pengisahan yang monoton. Hal yang turut dialaami oleh Ari Sihasale dalam Serdadu Kumbang.

Dalam Serdadu Kumbang, penonton Indonesia kali ini diajak ke wilayah Sumbawa, Nusa Tenggara Barat dan menyimak sisi keseharian dari kehidupan penduduk daerah tersebut. Tokoh utama dalam film ini adalah Amek (Yudi Miftahudin), seorang anak laki-laki yang terlahir dengan sumbing pada bibirnya dan tinggal bersama ibunya, Siti (Titi Sjuman), dan kakaknya, Minun (Monica Sayangbati). Ayahnya sendiri, Zakaria (Asrul Dahlan), semenjak lama telah meninggalkan keluarga ini karena menjadi seorang tenaga kerja di negara Malaysia. Walau hidup dengan cacat fisik yang ia miliki serta kondisi keuangan keluarga yang terbatas, Amek adalah sesosok anak yang ceria. Ia bahkan seringkali menyulitkan ibunya akibat tingkah lakunya yang jahil, malas belajar dan lebih sering berkhayal untuk mengikuti jejak Najwa Shihab untuk menjadi seorang pembawa acara berita.

Cerita kemudian berfokus pada pendidikan yang didapatkan Amek di sekolahnya. Secara akademis, Amek bukanlah sesosok yang cemerlang. Tahun sebelumnya, Amek sempat dinyatakan tidak lulus ketika mengikuti Ujian Nasional. Hal ini yang membuat ibu, kakak dan gurunya, Imbok (Ririn Ekawati), terus menerus memompa semangat belajar Amek. Di sekolah Amek sendiri, para jajaran guru telah bertekad untuk tahun ini dapat meluluskan seluruh siswanya. Hal ini dilakukan dengan cara penegakan disiplin belajar dan tingkah laku di kehidupan sehari-hari mereka. Suatu hal yang kadang justru menjadi sebuah momok tersendiri bagi para siswa dan siswi di sekolah tersebut untuk dapat belajar dengan tenang.

Me-le-lah-kan. Itu mungkin adalah kata yang cukup tepat untuk menggambarkan film yang berdurasi 105 menit ini. Tema dan rangkaian penceritaan yang ingin ditampilkan oleh Ari Sihasale di film ini harus diakui sama sekali tidak menawarkan sesuatu yang baru. Ini yang membuat Serdadu Kumbang terasa kaku, monoton dan begitu mudah ditebak. Naskah cerita karya Jeremias Nyangoen (Sang Dewi, 2007) juga terlihat seperti tidak tahu untuk meletakkan fokus utama ceritanya. Konflik demi konflik secara konstan terus dihadirkan tanpa memberikan kesempatan bagi penonton untuk dapat mencerna satu demi persatu deretan konflik tersebut. Rentetan konflik yang secara bertubi-tubi dihadapkan pada penonton inilah yang membuat Serdadu Kumbang kemudian seperti terlalu asyik bercerita tanpa mampu membuat para penontonnya merasakan ikatan emosional pada kisah maupun karakter yang sedang mereka saksikan.

Walau menyelimuti jalan ceritanya dengan begitu banyak konflik dan permasalahan, Serdadu Kumbang sepertinya memiliki misi tertentu dalam penyampaian kisah ceritanya: melakukan kritik terhadap bentuk sistem pendidikan di Indonesia. Ari Sihasale dan naskah cerita yang dituliskan oleh Jeremias terlihat begitu berusaha untuk menampilkan berbagai bentuk ketidakadilan yang selama ini sering didapati oleh para murid-murid sekolah di dalam ruang kelas mereka, mulai dari berbagai bentuk tindak kekerasan yang dilakukan atas dasar penegakan disiplin dan tingkah laku oleh guru-guru mereka hingga tindak ketidakadilan yang saat ini mungkin dianggap sebagai momok terbesar bagi para murid-murid di seluruh Indonesia: Ujian Nasional.

Sebuah niat yang sangat mulia, tentu saja. Namun Serdadu Kumbang menampilkannya secara sepihak dengan tanpa keinginan untuk melihat sisi-sisi positif dari hal-hal yang mereka kritik tersebut. Lihat saja bagaimana film ini menampilkan sosok UN seperti sebuah akhir kehidupan yang harus dijalani setiap murid sekolah. Memang benar, keberadaan UN dan berbagai aturannya sendiri masih sering menjadi tanda tanya  di kalangan masyaraakat Indonesia. Namun Serdadu Kumbang juga terlihat seperti menggampangkan kasus dan hanya ingin mengatakan pelaksanaan UN adalah sebuah keputusan buruk. Serdadu Kumbang tidak melihat sebuah kepentingan bahwa UN dilakukan adalah sebagai usaha pemerintah untuk menyamaratakan standar pendidikan di setiap daerah di Indonesia. UN juga dilakukan  sebagai motivasi bagi para murid untuk tetap terus belajar. Namun tidak. UN dalam film ini dihadirkan hanya dari satu sisi: sebagai sebuah momok yang seharusnya tidak pernah dilaksanakan. Sebagai sebuah teror yang secerdas apapun seorang murid, belum tentu dapat melaluinya. Sebagai sebuah ketidakadilan yang menindas masyarakat Indonesia. Tidak masalah jika Serdadu Kumbang ingin menampilkan UN sebagai sebuah mimpi buruk. Namun dengan cara penyampaiannya yang kelewat monoton dan berlebihan, Serdadu Kumbang justru terlihat sebagai provokasi murahan berat sebelah yang tak mampu benar-benar menjelaskan apa keburukan dari UN tersebut kecuali doktrin kecil bahwa UN adalah buruk.

Penyampaian deretan konflik yang disajikan Serdadu Kumbang juga terkesan mengasingkan para penonton muda yang awalnya menjadi target utama penonton film ini. Bagian awal film, yang masih berkisah mengenai kehidupan karakter Amek, keluarga dan persahabatannya mungkin masih akan mampu memberikan hiburan bagi para penonton muda. Namun, dengan terlalu banyaknya pesan-pesan yang ingin disampaikan film ini, Serdadu Kumbang harus diakui akan berjalan begitu membosankan bagi para penonton muda tadi mengingat topik pembicaraan film telah berubah menjadi kritikan terhadap sistem pendidikan yang dapat dipastikan sangat jauh dari jangkauan pemikiran penonton anak-anak saat ini.

Dari sisi teknis dan departemen akting, Serdadu Kumbang juga tidak menawarkan sesuatu yang istimewa. Para aktor dan aktris profesional yang tampil di film ini mampu menampilkan permaianan terbaik mereka. Sayangnya, kebanyakan dari aktor dan aktris tersebut memiliki peran yang snagaat terbatas. Posisi mereka kebanyakan digantikan oleh aktor dan aktris cilik yang berasal dari daerah setempat. Walau terkadang masih terlihat kaku, namun aktor dan aktris cilik tersebut cukup mampu membawakan peran mereka dengan baik. Yang cukup standout adalah tata musik karya Aksjan Sjuman dan Titi Sjuman. Iringan musik yang menghiasi beberapa adegan di film ini sangat mampu meningkatkan aliran emosi cerita kepada para penontonnya.

Sama sekali tidak ada sesuatu yang baru yang dapat ditawarkan Ari Sihasale dalam film yang menjadi kali ketiga ia duduk di kursi sutradara ini. Dengan berbagai kelemahan yang terdapat pada naskah cerita film ini, tidak dapat disangkal bahwa Serdadu Kumbang terlihat hadir sebagai sebuah film klise yang lagi-lagi mengangkat mengenai kehidupan para anak-anak yang berasal dari daerah terpencil di Indonesia. Naskah cerita yang menawarkan begitu banyak lapisan permasalahan dieksekusi dengan lemah oleh Ari Sihasale sehingga menjadi begitu monoton, cenderung membosankan dan dengan ending yang kurang begitu menarik. Durasi yang terlalu panjang serta tema dari jalan cerita yang sukar dimengerti oleh kalangan penonton muda kemungkinan besar akan membuat Serdadu Kumbang menjadi sulit untuk dicerna bagi mereka. Akhirnya, Serdadu Kumbang justru berakhir sebagai sebuah film datar dan tidak memberikan kesan apa-apa bagi para penontonnya selain perasaan lelah akibat jalan cerita yang terlalu klise untuk disaksikan.

Serdadu Kumbang (Alenia Pictures, 2011)

Serdadu Kumbang (2011)

Directed by Ari Sihasale Produced by Ari Sihasale Written by Jeremias Nyangoen Starring Yudi Miftahudin, Aji Santosa, Fachri Azhari, Monica Sayangbati, Titi Sjuman, Ririn Ekawati, Lukman Sardi, Asrul Dahlan, Leroy Osmani, Dorman Borisman, Surya Saputra, Gerry Puraatmadja, Putu Wijaya, Fanny Fadillah, Melly Zamri, Adinda Fudia, Nia Zulkarnaen Music by Aksan Sjuman & Titi Sjuman Cinematography Ical Tanjung Editing by Robby Barus Studio Alenia Pictures Running time 105 minutes Country Indonesia Language Indonesian

9 thoughts on “Review: Serdadu Kumbang (2011)”

  1. Mantaff ulasannya,, waalupun belum nonton jadi ingin menontonnya.. kita lihat saja nanti apakah rasaku akan sama dengan rasa penulis review saat menonton ini 😆

  2. bagus koq, emang sih bener spt yg direview, tp pesannya malah spt ingin nunjukkin apa adanya kondisi pendidikan di daerah yg mencil. dan juga tatanan ekhidupannya spt itu. gak rugi kok ut ditonton, krn cukup menyentuh, dan juga bagus koq reviewnya, menambah wawasan kita semua. I like both.

  3. nih si penulis yth. AMIRUDDIN eh salah… AMIR SYARIF SIREGAR ini terlalu banyak nonton film pocong ama sex makanya kurang bisa mencerna film berkualitas…

  4. Film yg bagus…dan natural…., saya pernah tinggal di ntb jadi dapet felingnya…. banyak sindirian…kemiskinan di tanah emas…

Leave a Reply