Review: Where the Wild Things Are (2009)


Where the Wild Things Are adalah sebuah film fantasi yang diadaptasi oleh sutradara Spike Jonze dari sebuah buku anak-anak populer berjudul sama karya Maurice Sendak yang dirilis pada tahun 1963. Walt Disney Pictures sendiri pernah membeli hak pembuatan versi film dari buku ini pada awal 80-an untuk diadaptasi menjadi sebuah film animasi yang akan menggabungkan karakter yang digambarkan secara animasi tradisional dan digabung dengan setting yang dibuat oleh komputer.

Namun, karena keterbatasan teknologi saat itu, proses adaptasi film ini lama-kelamaan menjadi tertunda hingga akhirnya di tahun 2001, Universal Pictures membeli hak adaptasi buku tersebut, namun tetap berencana untuk membuatnya dalam sebuah bentuk animasi. Akhirnya rencana untuk membuat adaptasi buku ini dalam bentuk animasi berubah setelah kedatangan sutradara Spike Jonze.

Mengisahkan mengenai Max (Max Records), seorang bocah 9 tahun penyendiri yang merasa bahwa kakaknya, Claire (Pepita Emmerichs) dan ibunya, Connie (Catherine Keener), mulai menjauhi dirinya. Kesal dengan keadaan yang ada, Max membuat keributan saat pacar sang ibu (Mark Ruffalo) datang berkunjung. Hasilnya, pertengkaran antara Max dan ibunya membuat Max melarikan diri dari rumahnya.

THE WILD SIDE. Max defines the word wild for his mom.

Dengan menggunakan sebuah sampan, Max mengarungi lautan dan tiba di sebuah pulau asing. Disana, ia menjumpai tujuh makhluk aneh berukuran raksasa yaitu Carol (James Gandolfini) yang sensitif, Ira (Forest Whitaker) yang selalu berbicara dengan suara halus, Judith (Catherine O’Hara) yang pesimis, Alexander (Paul Dano) yang bertubuh meyerupai kambing dan merasa selalu disisihkan, Douglas (Chris Cooper) yang bertubuh mirip burung dan merupakan teman akrab Carol, Bernard (Michael Berry, Jr) yang bertubuh mirip kerbau dan tidak pernah berbicara sekalipun, serta K.W. (Lauren Ambrose) yang suka menyendiri dan disukai oleh Carol. Segera, Max dan ketujuh makhluk tersebut cepat menjadi akrab. Bahkan, Max diangkat menjadi raja bagi mereka. Namun, sifat Max yang memang suka meledak-ledak ternyata menjadi halangan tersendiri bagi keakraban mereka. Berulang kali, perpecahan antara kelompok tersebut hampir saja terjadi karena Max, khususnya antara hubungan Carol dan K.W., yang memang sepertinya sangat rentan.

Menyimak cerita yang ditawarkan di sepanjang film ini, mungkin sebagian orang akan sulit untuk menerima bahwa film ini merupakan adaptasi dari sebuah buku cerita anak-anak. Dengan tone yang gelap, cenderung lebih dewasa dan tanpa kehangatan sedikitpun, Where the Wild Things Are sepertinya tidak akan mudah untuk dinikmati kaum muda (baca: anak-anak), maupun bagi mereka yang cenderung akan segera bosan dengan jalan cerita yang sedikit lamban.

Namun, justru hal-hal “gelap” itulah dimana keunggulan film ini banyak muncul. Spike Jonze, seorang yang lebih dikenal sebagai sutradara music video, berhasil memberikan unsur keindahan dari berbagai kesedihan hati yang coba dikeluarkan oleh Max. Para karakter-karakter raksasa yang ditemui Max sendiri, sebenarnya dapat dikatakan adalah perwujudan perasaan Max yang selama ini sering membuatnya merasa terisolir dari dunia luar, khususnya dari keluarganya. Jonze dengan pintar mengekspresikan hal ini dengan bahasa gambar yang indah.

Max Records, yang notabene adalah seorang pendatang baru di dunia akting, berhasil dengan sukses menggambarkan bagaimana perasaan seorang Max, yang sedang marah kepada dunia, sekaligus merasakan kesepian yang mendalam. Records berhasil membuat karakter Max terlihat (seringkali) menyebalkan, namun adakalanya membuat penonton merasa iba akan kesendirian yang dimunculkan Max. Para karakter pendukung – kebanyakan hanya dalam bentuk vokal – juga memberikan kesan tersendiri untuk kesuksesan Where the Wild Things Are. Lewat karakter-karakter pendukung ini, Where the Wild Things Are menjadi lebih hidup, sekaligus menyampaikan titik terkelam dari cerita film ini kepada para penontonnya.

Satu hal lagi yang menjadi keunggulan film ini adalah lagu-lagu dan score yang dibuat oleh Karen O (vokalis The Yeah Yeah Yeahs) dan Carter Burwell. Bersama, Karen O dan Burwell berhasil menambahkan emosi yang ingin ditonjolkan dari karakter Max, khususnya ketika Max mulai merasakan rasa depresi dan kesendirian.

Secara otomatis, berdasarkan jalan cerita yang ditawarkan, Where the Wild Things Are tentu bukanlah sebuah film yang dapat dinikmati oleh semua orang. Film ini membutuhkan tingkat kesabaran yang lebih tinggi untuk menikmati kelamnya jalan cerita yang ditambah dengan lambannya cara penceritaan yang diberikan oleh Jonze. Namun, dibalik itu semua, Jonze berhasil memberikan sebuah keindahan atas berbagai kesedihan emosional yang ditampilkan oleh karakter Max dan tujuh karakter ‘monster’ yang ada di jalan cerita film ini. Oh, dan ending film ini, dimana Max berpisah dengan tujuh sahabat barunya tersebut, mungkin akan menjadi titik puncak emosi Anda dalam menyimak perjalanan Max bersama tujuh makhluk liar tersebut.

Rating: 4 / 5

Where The Wild Things Are (Legendary Pictures/Village Roadshow Pictures/Playtone/Warner Bros., 2009)

Where the Wild Things Are (2009)

Directed by Spike Jonze Produced by Tom Hanks, Gary Goetzman, Maurice Sendak, John B. Carls, Vincent Landay Written by Spike Jonze, Dave Eggers (screenplay) Maurice Sendak (picture book) Starring Max Records, Catherine Keener, Mark Ruffalo, Lauren Ambrose, Chris Cooper, Paul Dano, James Gandolfini, Catherine O’Hara, Forest Whitaker Music by Karen O, Carter Burwell Cinematography Lance Acord Editing by Eric Zumbrunnen Studio Legendary Pictures/Village Roadshow Pictures/Playtone Distributed by Warner Bros. Running time 101 minutes Country United States Language English

Leave a Reply