Review: Coriolanus (2011)


Ada banyak cara yang dapat Anda lakukan ketika ingin mengadaptasi sebuah karya literatur milik William Shakespeare menjadi sebuah film. Untuk Coriolanus, Ralph Fiennes – aktor watak asal Inggris yang untuk pertama kalinya duduk di kursi penyutradaraan – memindahkan latar belakang waktu dari penceritaan Coriolanus ke masa modern namun masih tetap mempertahankan penggunaan dialog-dialog asli yang terdapat dalam naskah drama panggung yang ditulis oleh Shakespeare pada sekitar tahun 1605 hingga 1608 tersebut. Perpaduan antara unsur klasik dan modern yang diterapkan oleh Fiennes inilah yang kemudian membuat Coriolanus mampu berjalan dinamis dalam menghantarkan penceritaannya.

Coriolanus berkisah mengenai konflik yang terus meruncing antara negara Roma dengan negara tetangganya, Volsci. Pertarungan itu sendiri telah menghadapkan seorang jenderal Roma, Caius Martius (Ralph Fiennes), dengan pimpinan pasukan Volsci, Tullus Aufidius (Gerard Butler), dan menjadikan mereka sebagai musuh abadi. Dalam serangannya terakhir ke Volsci, Martius akhirnya berhasil memukul mundur pasukan Audifius dan memenangkan peperangan. Kemenangan tersebut kemudian disambut oleh para pemimpin Roma, khususnya General Cominus (John Kani) yang kemudian memberikan Martius nama ketiganya, Coriolanus.

Oleh sang ibu, Volumnia (Vanessa Redgrave), Martius didorong untuk menjadi konsulat bagi Senat Roma. Pemerintah sendiri sepertinya siap untuk menempatkan Martius sebagai salah satu konsulatnya. Namun, berkat kampanye gelap yang dilakukan oleh dua anggota senat, Brutus (Paul Jesson) dan Sicinius (James Nesbitt), yang takut kalau keambisiusan Martius akan merebut kekuasaan dari anggota senat, pemilihan Martius sebagai anggota Senat Roma akhirnya dibatalkan. Merasa marah, Martius kemudian meninggalkan keluarga dan negaranya untuk kemudian bergabung dengan pasukan Volsci yang dipimpin Aufidius. Keduanya lalu menyusun strategi untuk menyerang Roma dan mengambil alih kekuasaan wilayah tersebut.

Tema penceritaan Coriolanus yang berkisah mengenai intrik politik, balas dendam, drama keluarga hingga tragedi percintaan jelas masih mampu beradaptasi dengan penonton modern, khususnya dengan cara Ralph Fiennes menyajikan kisah tersebut. Tidak hanya memindahkan latar belakang waktu penceritaan ke masa yang lebih modern, Fiennes juga memilih untuk menghadirkan deretan adegan aksi yang dipenuhi kekerasan dan darah yang akan menjadikan Coriolanus terasa lebih hidup. Karakter-karakter yang hadir juga mampu digali dengan begitu baik sehingga, walaupun deretan karakter tersebut menggunakan tatanan bahasa yang kompleks, setiap karakter mampu tampil dengan ikatan emosional yang kuat.

Pemilihan talenta pada departemen akting jelas juga merupakan salah satu poin terpenting lainnya pada Coriolanus. Didukung dengan talenta-talenta akting seperti Fiennes, Gerard Butler, Vanessa Redgrave, Jessica Chastain dan Brian Cox, deretan dialog yang menggunakan struktur bahasa yang kaku dalam film ini kemudian mampu tampil layaknya deretan dialog yang berjalan alami. Penampilan mereka juga menjadi salah satu alasan mengapa karakter-karakter di dalam jalan cerita Coriolanus mampu tampil kuat, khususnya penampilan Fiennes yang memerankan karakter Caius Martius dan Redgrave yang memerankan Volumnia dengan begitu luar biasa.

Coriolanus juga semakin diperkuat dengan pemolesan tata produksi yang berkualitas tinggi. Tata musik arahan komposer Ilan Eshkeri mampu menghadirkan momen-momen yang emosional di berbagai adegan cerita film. Arahan musik Eshkeri juga terasa kuat di setiap adegan yang membutuhkan ketegangan lebih mendalam. Komposisi gambar arahan Barry Ackroyd juga berhasil tampil memukau. Secara keseluruhan, rasanya tidak salah untuk memberikan pengharapan yang besar kepada Fiennes sebagai seorang sutradara yang berhasil mengarahkan jalan cerita, akting para pemerannya sekaligus meramunya dengan tata produksi yang cemerlang.

Kalau boleh memilih, mungkin Coriolanus akan berjalan lebih baik jika Ralph Fiennes mau mengadaptasi karya William Shakespeare tersebut secara penuh: entah mengadaptasi Coriolanus menjadi sebuah film period atau menerjemahkannya ke latar belakang waktu penceritaan modern secara keseluruhan. Fiennes cukup mampu membuat Coriolanus berjalan dengan stabil, namun perpaduan antara elemen modern dan klasik seringkali membuat jalan cerita Coriolanus terlihat membingungkan di beberapa bagiannya. Pun begitu, adalah menarik untuk menyaksikan karir penyutradaraan Fiennes di masa yang akan datang. Cukup menjanjikan.

Coriolanus (Hermetof Pictures/Magna Films/Icon Entertainment International/Lipsync Productions/BBC Films/Kalkronkie/Atlantic Swiss Productions/Artemis Films/Magnolia Mae Films/Synchronistic Pictures/Lonely Dragon, 2011)

Coriolanus (2011)

Directed by Ralph Fiennes Produced by Ralph Fiennes, John Logan, Gabrielle Tana, Julia Taylor-Stanley, Colin Vaines Written by John Logan (screenplay), William Shakespeare (play, Coriolanus) Starring Ralph Fiennes, Gerard Butler, Vanessa Redgrave, Brian Cox, Jessica Chastain, John Kani, James Nesbitt, Paul Jesson, Lubna Azabal, Ashraf Barhom, Slavko Štimac, Dragan Mićanović, Radoslav Milenković, Harry Fenn, Jon Snow Music by Ilan Eshkeri Cinematography Barry Ackroyd Editing by Nicolas Gater Studio Hermetof Pictures/Magna Films/Icon Entertainment International/Lipsync Productions/BBC Films/Kalkronkie/Atlantic Swiss Productions/Artemis Films/Magnolia Mae Films/Synchronistic Pictures/Lonely Dragon Running time 123 minutes Country United Kingdom Language English

13 thoughts on “Review: Coriolanus (2011)”

  1. kesan pertama nonton ni film…bahasanya aneh,hehe..
    tapi yg ane paling dmen disini ya performanya Oma Vanessa Redgrave,,layak (setidaknya) dinominasiin Oscar tuh kmren..cara Volumnia marahnya tuh bikin merinding ^^

  2. [Fiennes cukup mampu membuat Coriolanus berjalan dengan stabil, namun perpaduan antara elemen modern dan klasik seringkali membuat jalan cerita Coriolanus terlihat membingungkan di beberapa bagiannya.]

    -> setuju banget! ya emang agak kurang sreg sih sama pemakaian bahasa sama setting waktunya yang udah beda jauh.. tapi yang paling ganggu dari itu semua ya subtitlenya, hehehe.. saya juga nulis review tentang Coriolanus, bang.. kalo sempet mohon mampir baca ya, thanks a lot 🙂

    [Review] Coriolanus

    @Nugros: iya, setuju, Gros.. yang adegan dia marah2 sama Coriolanus di markasnya Aufidius itu keren ya 😀

    1. haha-iya tuh…seolah nafasnya Shakespeare keluar dari mulut oma Vanessa, LOL
      bener2 heran performa seperti itu diabaikan ,
      bahkan di Inggris sendiri (BAFTA)

      1. Vanessa Redgrave dulu pernah punya dosa besar di Oscar. Saya lupa detilnya. Tapi ketika ia menang Oscar, ia pernah membuat sebuah pengumuman politis dalam acceptance speech-nya. Semenjak itu Hollywood sedikit menjauhi Redgrave dan seringkali meninggalkan performa Redgrave — kasus yang sama seperti yang dialami Richard Gere dan Michael Moore. Ditambah dengan kekurangberhasilan ‘Coriolanus’ dalam meraih pendapatan komersial… yah… makin ditinggalin deh.

        1. iya gan,ane pernah baca tuh..
          pernah liat juga video-nya di Youtube pas di winning speech-nya beliau berterima kasih sama pemilih AMPAS yang tetep milih dia buat menang walau dapet ancaman dari orang2 yahudi (penjahat zionis) yang Anti-Vanessa karena dukungannya ke Palestina..

          well, tapi beliau termasuk beruntung juga sih gan, pasca menang itu, dia masih dinominasiin beberapa kali…

          tapi ane mau nyalahin Weinstein Co deh yang ga kampanye buat Vanessa! hahaha (terlalu fokus ke The Artist kayanya)

          1. Padahal pas pertama tayang di festival — Berlin Film Festival, kalau tidak salah — banyak banget yang memprediksi Vanessa Redgrave bakalan dapat (atau menang) nominasi Oscar. Sayang… promosinya tiba-tiba tenggelam bersama dengan filmnya yang hanya rilis terbatas di negara asalnya.

            1. iya emang gan, kebetulan ane juga ngikutin Gold Derby tuh ada chart2 prediksi oscar..
              beliau selalu di atas sepanjang bulan sampe oktober, and endingnya…..malah ga ada sama sekali, ckck

  3. Bro Amir, berarti disini banyakan adegan aksi-nya atau basa-basinya? mau nonton takut ditipu ma poster n premise, ntar bete n sia2 hidup saya selama 2 jam.. wkwkwk…

    1. Wahhh… jangan berharap sajian aksi penuh a la ‘The Raid’ atau film aksi lainnya. Deretan adegan kekerasan di ‘Coriolanus’ hanyalah bagian cerita. Bukan inti ceritanya. Jadi tidak maksimal kalau ngarepin dari sisi aksinya saja.

  4. setuja, gw suka film ini, beruntung dapet subtitle indonya yg bagus, hehe, jadi enak aja nonton nih film dari awal ampe akhir, beda ama the tempest, puyeng abisss 😛

  5. lho bung amir… Ni kayaknya dulu review coriolanus pernah muncul deh.. Kok muncul lagi, apa aku yg salah liat..

Leave a reply to dadali Cancel reply