Review: Keumala (2012)


Dikenal sebagai seorang editor bagi sederetan film Indonesia seperti Denias, Senandung di Atas Awan (2006), Under the Tree (2008) dan Hari Untuk Amanda (2010) – yang berhasil memberikannya nominasi Penata Gambar Terbaik di ajang Festival Film Indonesia – Andhy Pulung mencoba untuk menguji kemampuannya dalam memimpin langsung proses produksi sebuah film dengan menjadi sutradara bagi film Keumala. Dengan naskah cerita yang ditulis oleh Dirmawan Hatta (The Mirror Never Lies, 2011), Keumala mencoba untuk menawarkan romantisme sebuah kisah cinta remaja lewat deretan dialog puitis yang terjalin di dalam jalan ceritanya. Ritme ceritanya yang lamban mungkin akan menjadi masalah bagi beberapa orang. Namun dengan Keumala, Andhy mampu menunjukkan bahwa ia dapat menjaga stabilitas kisah yang ia hantarkan dengan cukup baik dan membuat kisah cinta yang sebenarnya sederhana hadir dengan makna yang lebih mendalam.

Keumala mengisahkan cerita romansa yang terbentuk antara dua karakter yang memiliki latar belakang kepribadian yang begitu berbeda. Keumala (Nadia Vega) adalah seorang penulis yang cukup populer namun dengan ego dan keangkuhan diri yang begitu besar. Keangkuhan tersebut mendapatkan ujian yang begitu besar ketika dirinya bertemu dengan Langit (Abimana Arya), seorang fotografer dengan sifat yang tak kalah angkuhnya, dalam sebuah perjalanan laut dari Jakarta menuju Medan. Perkenalan mereka berawal dari perebutan lokasi yang terjadi antara keduanya dalam memperoleh lokasi terbaik untuk menangkap suasana senja – Keumala berusaha menangkapnya dengan sketsa gambar yang ia hasilkan, sementara Langit bersiap menangkap momen tersebut dengan kamera yang selalu ia bawa dimanapun ia berada. Begitu saling membenci pada awalnya, namun pada akhirnya keduanya saling menyukai satu sama lain… walau tidak pernah menyatakan perasaan mereka secara langsung.

Untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak. Keumala yang semenjak lama telah didiagnosa sedang menderita Retinitis pigmentosa, sebuah penyakit yang lama-kelamaan akan membawakan kebutaan pada penderitanya, memilih untuk meninggalkan Langit karena tidak mau pria tersebut tahu mengenai kondisinya. Keumala kemudian memilih untuk mengasingkan diri dari dunia luar dan tinggal sendiri di sebuah cottage yang terletak di wilayah pinggiran laut Sabang, Nanggroe Aceh Darussalam. Lewat bantuan seorang gadis kecil bernama Inong (Shilla Vaqa Ismi), Keumala kemudian berkenalan dengan seorang peneliti bernama Arthur. Berbeda dengan Keumala yang kini berada dalam kondisi buta, Arthur terlahir dalam kondisi bisu. Secara perlahan, keduanya mulai saling mendekat, dan melengkapi satu sama lain.

Tantangan dalam penceritaan Keumala tentu saja adalah bagaimana agar deretan dialog yang mengandung jutaan kata bernuansa puitis yang terkandung dalam jalan cerita film ini mampu terdengar wajar, tidak berlebihan maupun terdengar tidak masuk akal untuk diungkapkan dalam dialog yang mengalir antara kedua karakter utamanya. Tidak selalu berhasil, sayangnya. Pada beberapa bagian, dialog-dialog puitis tersebut mampu melaksanakan tugasnya untuk menghasilkan atmosfer romansa yang kuat bagi jalan cerita Keumala, khususnya ketika dua karakter utamanya sedang berada dalam satu adegan yang sama. Namun pada beberapa bagian, ditambah dengan adegan-adegan yang kurang tergarap dengan kuat, dialog-dialog puitis tersebut justru membuat Keumala menjadi bertele-tele dalam penceritaannya.

Dengan durasi jalan cerita yang berjalan selama 104 menit, Keumala sayangnya tidak mampu menghadirkan momen yang benar-benar dapat tampil lugas dalam penyampaian sisi emosional ceritanya. Tentu, beberapa momen melankolis berhasil dihadirkan oleh Andhy Pulung lewat penjagaan stabilitas ritme kisah yang cukup rapi. Namun, karakterisasi yang sedikit terbatas membuat deretan kisah yang hadir dalam film ini seringkali terasa lamban dan mengganggu. Pemilihan ending cerita juga terkesan dapat mudah ditebak dan semakin terasa kurang mengesankan karena cara eksekusinya yang kurang mampu hadir secara menyeluruh.

Memanfaatkan latar belakang alam kota Sabang yang indah, tata sinematografi dari Keumala hadir menjadi salah satu unsur kunci terkuat dalam penceritaan film ini. Penampilan akting yang diberikan jajaran pengisi departemen akting film ini juga tidak mengecewakan. Terlepas dari karakter-karakter yang mereka perankan sedikit kurang mampu tampil simpatik, Nadia Vega dan Abimana Arya mampu memberikan kinerja terbaik dalam menghidupkan peran mereka. Begitu pula dengan Shilla Vaqa Ismi dan Cut Yanti yang memberikan penampilan pendukung yang cukup kuat walaupun karakter yang mereka perankan harus hadir tanpa kedalaman karakterisasi yang berarti.

Masih merupakan sebuah kisah romansa yang mencoba tampil menyentuh dengan kisah melankolias yang dihadirkan dalam jalinan naskah ceritanya, Keumala sedikit tampil berbeda dengan kehadiran dialog-dialog nan puitis yang menghiasi setiap baris kalimat yang dituturkan para karakter di film ini. Untungnya, porsi puitis dalam naskah cerita film ini mampu dihadirkan secara wajar, hingga sama sekali tidak (baca: belum) terasa mengganggu. Terlepas dari jalan ceritanya yang sedikit terasa lamban dan terseret-seret, khususnya di bagian pertengahan film, tata sinematografi dan akting dua aktor utama Keumala membuat film ini masih cukup layak untuk dinikmati.

Keumala (Indirama Films, 2012)

Keumala (2012)

Directed by Andhy Pulung Produced by Ina Limbong Riung Written by Dirmawan Hatta Starring Abimana Arya, Nadia Vega, Shilla Vaqa Ismi, Cut Yanti, Arturo GP, Islamuddin, Mahdi Spn, Syeh Jakaria Music by Andrey Verindra Cinematography Samuel Uneputty Editing by Andhy Pulung, Dwi Agus Purwanto Studio Indirama Films Running time 104 minutes Country Indonesia Language Indonesian

2 thoughts on “Review: Keumala (2012)”

  1. yg malasnya itu kalau dalam penceritaan… salah satu tokoh utamamnya kenapa penyakit mematikan yg tdk mungkin disembuhkan… ini sih cerita lebay ah… nice review

Leave a Reply