Review: Shutter Island (2010)


Shutter Island adalah sebuah karya teranyar dari salah satu sutradara paling dihormati di Hollywood, Martin Scorsese. Kembali bekerjasama dengan Leonardo DiCaprio, film ini merupakan adaptasi dari sebuah novel berjudul sama karya novelis Dennis Lehane.

Film yang sempat diberi judul Ashecliffe ini sebenarnya pertama kali dijadwalkan rilis pada bulan Oktober tahun lalu. Namun, dengan menggunakan alasan ekonomi, Paramount Pictures akhirnya menarik Shutter Island dari jadwal peredaran pertamanya — sekaligus dari persaingan film-film yang akan memperebutkan Oscar — dan memilih untuk merilisnya pada bulan Februari 2010.

Bersetting di Boston pada tahun 1950-an, Shutter Island dibuka dengan adegan perkenalan antara seorang US Marshall, Teddy Daniels (Leonardo DiCaprio), dengan Chuck Aule (Mark Ruffalo), yang juga seorang US Marshall, dan akan menemaninya menyelidiki sebuah kasus di sebuah institusi mental, Ashecliffe Hospital, di Shutter Island.

Ashecliffe sendiri bukanlah sebuah institusi mental biasa. Ashecliffe dibangun untuk menampung mereka para penjahat-penjahat kelas kakap yang memiliki kelainan jiwa. Para staf di institusi mental ini sendiri baru saja mengalami kegemparan setelah salah seorang pasiennya, Rachel Solando (Emily Mortimer), ditemukan menghilang dari ruang tahanannya secara misterius. Karena itulah, Teddy dan Chuck dipanggil, untuk meneliti dimana keberadaan Rachel saat ini.

Setibanya di Shutter Island, dan dibawa ke Ashecliffe, Teddy dan Chuck berkenalan dengan Dr John Cawley (Ben Kingsley), dokter yang mengelola institusi mental tersebut. Dari penjelasan Dr Cawley, didapatlah informasi bahwa Rachel — yang berada disana karena membunuh ketiga anaknya dengan cara menenggelamkan mereka satu persatu ke dalam sebuah danau — menghilang dari kamarnya yang sebenarnya telah dikunci dengan ketat. Perlahan-lahan, Teddy dan Chuck mulai menemukan banyak petunjuk mengenai berbagai keanehan yang terjadi di institusi mental tersebut.

Di sisi lain, Teddy sendiri harus berjuang melawan dirinya sendiri yang terus dihantui oleh sang istri, Dolores (Michelle Williams), yang tewas dalam sebuah peristiwa kebakaran. Dalam khayalannya, Dolores sering sekali memberikan petunjuk pada Teddy mengenai keberadaan Rachel, serta keberadaan Andrew Laeddis (Elias Koteas), pria yang menyulut kebakaran dan menewaskan Dolores. Jadilah kini Teddy harus berjuang untuk menemukan Rachel, sekaligus menemukan Andrew Laeddis untuk, seperti petunjuk istrinya, dibunuhnya.

Lewat Shutter Island, Martin Scorsese kembali berhasil membuktikan posisi istimewanya di kancah perfilman Hollywood. Bukan hanya membuat Shutter Island sebagai sebuah film thriller yang berhasil, ia bahkan berhasil untuk memutar otak para penontonnya selama 138 menit dan meninggalkan mereka dengan rasa penasaran untuk sebuah misteri lainnya. Memang, bagi beberapa orang, ending yang ditawarkan Shutter Island sepertinya kurang sebanding dengan apa yang telah mereka hadapi dalam perjalanan menuju kesana. Namun tetap saja, tidak akan ada seorangpun yang mengeluhkan bahwa perjalanan yang telah mereka lakukan untuk mencapai bagian ending tersebut adalah sebuah perjalanan yang sia-sia.

Mari melihat bagian-bagian yang membuat film ini menjadi sebuah film pertama di tahun ini yang layak diberikan gelar sebagai the year’s best. Naskah film ini diadaptasi dari novel karya Dennis Lehane. Tidak familiar dengan nama tersebut? Anda pasti akan lebih familiar jika disebutkan Mystic River dan Gone Baby Gone. Ya, Lehane adalah orang yang sama yang juga mengerjakan dua novel yang telah diadaptasi ke dalam bentuk film tersebut. Dan sama halnya dengan kedua novel film tersebut, Shutter Island juga akan membutuhkan sedikit otak Anda untuk menikmatinya. Namun tak perlu khawatir, semua permainan otak ini telah diadptasi dengan baik oleh Laeta Kalogridis. Beberapa resumenya di masa lampau (Alexander, Night Watch, Pathfinder — dan hey… dia adalah salah satu produser eksekutif di film Avatar) mungkin terasa kurang meyakinkan. Namun dengan bantuan Steven Knight (Dirty Pretty Things, Eastern Promises — dia tidak mendapatkan kredit di film ini), Kalogridis berhasil menciptakan naskah yang demikian pintar dan meyakinkan.

Di bagian teknikal, Scorsese, seperti biasa, membawa tim yang telah biasa bekerjasama dengannya. Nama-nama seperti Thelma Schoonmaker (editor film — yang sangat berhasil membuat kesan misterius film ini begitu terasa) dan Robert Richardson (sinematografi — yang sangat, sangat berhasil memilih gambar yang mampu menciptakan suasana mencekam) berhasil memadukan kemampuan mereka untuk mejadikan Shutter Island sebagai film Scorsese yang memiliki kemampuan teknis terbaik. Ini ditambah dengan pilihan-pilihan musik latar dari Robbie Robertson. Robertson tidak akan mendapatkan nominasi Oscar untuk film ini, karena ia hanya bertindak sebagai supervisor yang memilihkan score-score musik ternama untuk menemani jalannya tiap adegan di film ini. Namun tetap saja, kejeliannya akan memilihkan suara yang tepat untuk sebuah adeganlah yang membuat Shutter Island sudah terasa menegangkan semenjak film ini dimulai.

Bagian terbaik film ini adalah tentu saja karena jalan cerita film ini, mampu dibawakan dengan baik, tanpa cela, oleh para jajaran pemerannya. Pertama ada Leonardo DiCaprio, yang di setiap penampilan filmnya, sepertinya selalu berusaha untuk mengalahkan penampilannya di film sebelumnya (it’s a compliment, by the way). Namun sayangnya, jika hendak membandingkan dengan apa yang telah ia berikan di Revolutionary Road, tentu saja aktingnya di Shutter Island akan mendapatkan nilai setengah dari nilai yang ia mainkan bersama Kate Winslet tersebut. Walau begitu, ini bukanlah kesalahan DiCaprio. Tidak seperti Revolutionary Road, semenjak awal film, DiCaprio memang sudah ditentukan untuk berperan sebagai seorang pria yang memiliki tekanan batin dan hampir kehilangan kewarasannya, dan itulah ekspresi yang dengan baik ditampilkan DiCaprio di film ini.

Ada tiga penampilan di film ini yang sangat mencuri perhatian. Michelle Williams. Jackie Earle Haley. Patricia Clarkson. Williams bermain Dolores, istri Teddy yang telah tewas dan hadir melalui setiap khayalannya. Lewat Shutter Island, Williams kembali menunjukkan aktingnya sebagai seorang wanita rapuh yang memiliki masalah, sama seperti yang pernah ia tunjukkan di Brokeback Montain. Haley dan Clarkson tampil kurang dari 10 menit di film ini. Walau begitu, momen kehadiran mereka yang tiba-tiba di film ini merupakan dua bagian yang dapat dibilang paling mengesankan di film ini. Lihat saja Clarkson, yang biasa terlihat kalem di film-filmnya, kini tampil acak-acakan, lusuh dan penuh amarah di film ini. Sementara karakter yang diperankan Haley menjadi sangat memorable karena perannya yang nantinya terkuak di akhir film.

Oh, jangan lupakan penampilan Ben Kingsley dan Mark Ruffalo di film ini — mereka tampil sama memikatnya dengan DiCaprio bahkan terkadang mampu memberikan jangkauan akting yang sedikit melebihi sang aktor utama tersebut.

Sebuah perjalanan yang penuh intrik dan memerlukan banyak konsentrasi, Shutter Island adalah sebuah film dengan pencapaian teknikal yang sangat mengagumkan. Dari gambar hingga tata suara, film Martin Scorsese belum pernah mencapai titik setinggi ini sebelumnya. Ini ditambah dengan akting tanpa cela dari para jajaran pemeran di filmnya, yang akan membuat Anda terkagum-kagum dengan kemampuan akting mereka. Sayangnya, film ini meninggalkan sesuatu yang sedikit mengganggu. Para penonton sebenarnya tidak akan memperdulikan bagaimana nasib Teddy di akhir film karena mereka tidak benar-benar pernah merasa terhubung dengannya. Ya, Scorsese mungkin sedikit melupakan sisi emosional yang seharusnya dapat membuat penonton merasa terikat dengan Teddy sekaligus membuat mereka akan memikirkan nasibnya sepanjang malam. Namun, Shutter Island bukan sebuah film yang hanya dinikmati ketika film ini mencapai endingnya. Perjalanan menuju ending tersebutlah yang akan membuat para penontonnya merasa luar biasa kagum dengan film ini.

Rating: 4.5 / 5

Shutter Island (Phoenix Pictures/Appian Way Productions/Sikelia Productions/Paramount Pictures, 2010)

Shutter Island (2010)

Directed by Martin Scorsese Produced by Martin Scorsese, Bradley J. Fischer, Mike Medavoy, Arnold W. Messer Written by Laeta Kalogridis, Steven Knight (uncredited), Dennis Lehane (novel) Starring Leonardo DiCaprio, Ben Kingsley, Mark Ruffalo, Michelle Williams Music by Robbie Robertson (supervision) Cinematography Robert Richardson Editing by Thelma Schoonmaker Studio Phoenix Pictures/Appian Way Productions/Sikelia Productions Distributed by Paramount Pictures Running time 138 min. Country United States Language English

9 thoughts on “Review: Shutter Island (2010)”

  1. “Namun, Shutter Island bukan sebuah film yang hanya dinikmati ketika film ini mencapai endingnya. Perjalanan menuju ending tersebutlah yang akan membuat para penontonnya merasa luar biasa kagum dengan film ini.”

    setubuh bgt!!!

  2. apakah karena aku masi berjiwa anak muda?butuh film2 yang cepat dan lugas! sehingga sangat2 mengantuk ma film ini,,beda ma nolan,film2nya berpikir semua,tapi dengan ritme yg cepat,dan bikin qta smangad nton sejak awal hingga akhir,.,

  3. sy sudah 4 kali nnton film ini tp sampai skrg sy blm ngerti inti ceritanya gmn, pusing jd pengen bunuh diri !!!!

  4. Baru ada kesempatan buat nonton film satu ini, goddamn cool.
    plot ceritanya kompleks, suspense begitu terasa dari awal sampai akhir. Baru di menit2 terakhir terungkap sudah story line dari film ini.Nice twisted ending.

  5. Film yang sangat brilian, awalnya sempet antusias pas pertama nonton, eh kesananya banyak hal aneh dari kejadian demi kejadian. Saking capenya mikir bwt ngertiin, gw ampe ngantuk ketiduran di setengah durasi film. Hehe.
    Gila!!! Gw ampe ampe ngimpiin segala lagi pas tidur, kebayang terus gw seolah jadi teddy lagi nyariorang hilang sama chuck.
    Besoknya gw bangun dan nonton lagi, akhirnya teka teki terjawab sudah pas ending dengan sangat baik. Tanpa celah untuk filmnya, terutama suasana scene suram dan jajaran akting yang meyakinkan.

Leave a Reply